SISI PERUSAHAAN DARI MANUSIA

SISI PERUSAHAAN DARI MANUSIA

The Human Side of Enterprise

Douglas Murray McGregor

A.      Pendahuluan

Sudah menjadi biasa untuk mengatakan bahwa industry mempunyai cara yang mendasar untuk memfungsikan ilmu fisika dan teknologi demi kepentinganumat manusia dan kita harus tahu cara memfungsikan ilmu sosial untuk membuat organisasi manusia menjadi benar-benar efektif.

Pada suatu tingkat, ilmu sosial sekarang ini pada posisi dimana ilmu fisika terfokus pada energy atom pada tahun tigapuluhan. Kita mengetahui bahwa gambaran masa lalu mengenai alam manusia sangatlah tidak memadai dan tidak tepat. Kita menjadi cukup yakin bahwadi bawah kondisi yang pantas sumber-sumber yang tak dikira akan energy kreativitas manusia menjadi tersedia dalam penataan secara organisasi.

Kita tidak bisa megatakan pada manajemen industri cara untuk menerapkan pengetahuan baru in secara sederhana dan ekonomis. Kita tahu ini membutuhkan waktu yang lama untuk eksplorasi, riset pengembangan yang mahal, dan sejumlah imajinasi kreatif pada bagian manajemen untuk menemukan cara menerapkan pengetahuan yang berkembang ini pada organisasi usaha manusia dalam industry.

 

B.      Tugas Manajemen: Pandangan Konvensional

Konsep tugas manajemen konvensional dalam menggunakan energi manusia pada syarat-syarat organisasional dapat dinyatakan secara luas dalam tiga proporsi. Dalam rangka menhindari komplikasi yang dikenalkan oleh label sebut saja dengan Teori X:

  1. Manajemen bertanggung jawab mengatur elemen-elemen usaha produktif—uang, bahan baku, peralatan, tenaga kerja—dalam hal tujua ekonomi.
  2. Dengan rasa hormat pada orang-orang, ini merupakan proses untuk mengarahkan usaha mereka, memotivasi mereka, mengendalikan tindakan mereka, memodifikasi perilaku mereka agar sesuai dengan kebutuhan organisasi.
  3. Tanpa intervensi aktif dari manajemen, orang-orang akan bersikap pasif—dan mungkin menentang—kepentingan organisasi. Maka dari itu mereka seharusnya diyakinkan, dihargai, diberi hukuman, dikendalikan—kegiatan mereka mesti diarahkan. Inilah yang disebut tugas manajemen. Kita sering meringkas dengan mengatakan bahwa manajemen berarti menyelesaikan sesuatu melalui orang-orang.

Di belakang teori konvensional ini ada beberapa kepercayaan tambahan—yang tidak terlalu eksplisit tapi meluas:

  1. Sifat dasar kebanyakan manusia adalah malas—mereka bekerja sesedikit mungkin.
  2. Manusia kurang berambisi, tidak menyukai tanggung jawab, dan lebih suka dipimpin.
  3. Sudah sifatnya manusia mementingkan diri sendiri dan tidak memperdulikan kebutuhanorganisasi.
  4. Manusia secara alami tidak menyukai perubahan.
  5. Manusia mudah tertipu, tidak terlalu pintar, gampang tertipu dukun dan pemimpin rakyat.

 Sisi usaha ekonomi manusia sekarang ini dibuat dari kepercayaan dan dalil seperti itu. Struktur organissikonvensional dan kebijakan manajerial, praktek dan program mencerminkan asumsi-asumsi tersebut. Dalam menjalankan tugasnya—dengan asumsi ini sebagai pedoman—manajemen telah menyusun serangkaian kemungkian.

Pada hal yang ekstrim, manajemen dapat bersifat keras dan kuat. Metode yang digunakan untuk mengarahkan perilaku melibatkan kekerasan dan ancaman (biasanya secara terselubung), pengawasan ketat, dan pengendalian yang kuat atas perilaku. Pada hal yang ekstrim lainnya, manajemen dapat bersifat lembut dan lemah. Metode yang digunakan untuk mengarahkan perilaku melibatkan sifat permisif, memuaskan keinginan orang, mencapai keharmonisan. Sehingga mereka  menjadi penurut dan menerima arahan.

Cakupan ini telah digali secara lengkap selama setengah abad yang lalu dan manajemen telah belajar beberapa hal dari eksplorasi. Ada beberapa kesulitan dalam pendekatan keras. Kekerasan membuahkan perlawanan: pembatasan hasil, antagonism, kesatuan militan, sabotase halus namu efektif terhadap tujuan manajemen. Pendekatan keras ini khususnya sulit dilakukan selama tidak adanya pengangguran.

Terdapat kesulitan juga pada pendekatan halus. Diantaranya gagal dalam melaksanakan tugas dalam manajemen dan tidak memperdulikan kinerja. Orang mengambil keuntungan dari pendekatan halus ini. Mereka secara terus-menerus mengharap mendapat lebih tetapi memberikan semakin sedikit.

Saat ini tema yang terkenal adalah tegas tapi jujur. Ini merupakanusaha untuk mendapatkan keuntungan dari pendekatan keras dan halus. Hal ini mengingatkan kita pada Teddy Roosevelt : bicaralah dengan lembut dan bawalah tongkat yang besar.

C.      Apakah Pandangan Konvensional Sudah Benar?

Penemuan yang mulai muncul dari ilmu sosial menantang seluruh paket kepercayaan tentang manusia dan sifat alaminya dan tentang tugas manajemen. Bukti-buktinya tentu saja tidak meyakinkan tetapi memberikan saran. Itu semua datang dari laboratorium, klinik, ruang sekolah, rumah dan bahkan menuju tingkat terbatas suatu industri.

Ilmuwan sosial tidak mengelak bhwa perilaku manusia dalam organisasi industri sekarang ini mendekati yang dirasakan pihak manajemen. Mereka telah menelitinya secara luas. Tetapi mereka yakin perilaku ini bukan sebagai akibat dari sifat warisan manusia. Melainkan akibat dari sifat organisasi industri dari filosofi manajemen, kebijakan dan praktek. Pendekatan konvensional teori X berdasar pada dugaan yang salah pada sebab dan akibat. Mungkin cara yang paling baik untuk mengetahui pendekatan konvensional manajemen tidaklah cukup adalah dengan mempertimbangkan subyek motivasi.

 

D.      Kebutuhan Psikologis

Manusia adalah binatang yang mempunyai keinginan—jika satu keinginannya terpenuhi maka akan muncul keinginan yang lain. Dan proses ini tidak pernah terputus. Terus berlanjut dari lahir sampai mati.

Kebutuhan manusia dibagi dalam beberapa tingkatan—hirarki prioritas. Pada tingkat yang paling rendah, tetapi tidak begitu penting saat dihalangi adalah kebutuhan psikologi. Manusia hidup untuk makan. Kecuali pada situasi yang tidak biasa kebutuhan akan kasih sayang, status dan pengakuan tidaklah berlaku yaitu saat merasa kelaparan beberapa waktu lamanya. Tapi jika manusia makan dengan teratur dan cukup, kebutuhan makan bukan lagi motivasi yang penting. Hal yang sama berlaku untuk kebutuhan psikoligimanusia yang lain—kebutuhan istirahat, berolahraga, perlindungan dari hal yang mengancam.

Kebutuhan yang terpenuhi bukanlah motivasi perilaku manusia. Hal ini merupakan kenyatan yang biasanya diabaikanoleh pendekatan manajemen massa konvensional. Ambillah contoh kebutuhan kita akan udara. Jika kita tidak kekurangannya maka tidak ada motivasi yang cukup berharga yang mempengaruhi perilaku kita.

 

E.      Kebutuhan Keamanan

Ketika kebutuhan psikologi terpenuhi maka kebutuhan pada level berikutnya akan mendominasi perilaku manusia—untuk memotivasinya. Inilah yang disebut kebutuhan keamanan pribadi. Manusia membutuhkan perlindungan dari bahaya, ancaman dan kekurangan. Beberapa orang menyalah artikan kebutuhan ini sebagai kebutuhan akan peralatan keamanan. Jika manusia tidak berada dalam suatu hubungan ketergantungan dimana dia takut akan kesewenang-wenangan maka dia tidak memerlukan kebutuhan peralatan keamanan. Kebutuhannya adalah untuk perubahan yang mungkin. Jika seseorang merasa percaya diri maka dia akan lebih bersedia mengambil resiko. Tapi jika measa teramcam atau tergantung pada orang lain maka kebutuhan utamanya adalah jamina, perlindungan dan peralatan keamanan.

Fakta yangmemerlukan sedikit penekanan adalah bahwa kebutuhan keamanan diasumsikan sebagai hal yang penting, karena setiap pekerja industri berada dalam hubungan ketergantungan.  Aksi manajemen yang sewenang-wenang, perilaku yang menimbulkan ketidakpastian untuk melanjutkan bekerja atau yang mencerminkan diskriminasi atau pilih kasih, kebijakan administrasi yang tidak terduga—semua ini bisa menjadi motivasi yang kuat untuk kebutuhan keamanan dalam hubungan kerja di setiap level, dari pekerja hingga wakil direktur.

 

F.      Kebutuhan Sosial

Ketika kebutuhan psikologi manusia terpenuhi dan dia tidak lagi mengkhawatirkan kesejahteraan fisik, maka kebutuhan sosial akan menjadi motivasi penting berperilaku—kebutuhan memiliki sesuatu, kebutuhan bergaul, kebutuhan diterima oleh golongannya, kebutuhan member dan menerima persahabatan dan kasih saying.

Majemen mengetahui keberadaan macam-macam kebutuhan itu tetapi sering mengasumsikannya dengan kurang benar yaitu dengan menganggapnya sebagai ancaman bagi organisasi. Banyak penelitian menunjukkan bahwa kerja kelompok yang sangat kompak dalam kondisi yang tepat bisa lebih efektif dalam mencapai tujuan organisasi dibanding jumlah orang yang sama tapi bekerja terpisah.

Tetapi mengkhawatirkan adanya permusuhan antar kelompok, manajemen sering bersikap cukup longgar untuk mengendalikan dan mengarahkan usaha-usaha manusia yang bermusuhan kepada sifat alami manusia dalam kelompok. Ketika kebutuhan sosial manusia—dan mungkin juga kebutuhan keamannannya—terhalangi maka dia akan bertindak mengalahkan tujuan organisasi. Dia akan menjadi kebal, antagonis, tidak kooperatif. Tetapi perilaku ini merupakan akibat, bukan sebab.

 

G.      Kebutuhan Ego

Di atas kebutuhan sosial—dalam pengertian bahwa ini tidak menjadi motivator sampai kebutuhan yang lebih rendah telah terpenuhi—adalah kebutuhan yang paling signifikan bagi manajemen dan bagi manusia itu sendiri. Kebutuhan tersebut adalah kebutuhan egoistis, yang terdiri dari dua jenis:

  1. Kebutuhan yang berhubungan dengan harga diri seseorang—kebutuhan akan kepercayaan diri sendiri, kebebasan, prestasi, keahlian, pengetahuan.
  2. Kebutuhan yang berhubungan dengan reputasi seseorang—kebutuhan akan status, pengakuan, penghargaan, rasa hormat yang pantas dari kelompoknya.

Tidak seperti kebutuhan yang lebih rendah, kebutuhan ini jarang terpenuhi; seseorang mencari pemuasan akan kebutuhan ini dalam waktu tidak terbatas segera setelah kebutuhan ini menjadi penting untuknya, tetapi kebutuhan ini tidak muncul secara signifikan sampai kebutuhan psikologi, keamanan dan sosial telah terpenuhi.

Organisasi industry yang khas menawarkan beberapa kesempatan untuk pemuasan kebutuhan egoistis ini bagi orang-orang level rendah dalam hiraki. Metode konvensional dari kerja organisasi khususnya dalam industry produksi besar memberikan sedikit perhatian pada aspek motivasi manusia ini. Jika dalam praktek manajemen ilmiah diperhitungkan menghalangi kebutuhan ini, mereka sulit mencapai tujuan ini secara lebih baik.

H.      Kebutuhan Pemenuhan Diri

Akhirnya sebagai puncak dari hirarki kebutuhan manusia adalah apa yang disebut kebutuhan pemenuhan diri. Ini merupakan kebutuhan untuk menyadari potensi pribadi, pengembangan pribadi, dan menjadi kreatif dalam pengertian yang luas.

Sangat jelas bahwa kehidupan modern hanya memberikan kesempatan yang terbatas untuk mengekspresikan kebutuhan yang relatif lemah ini. Kerugian yang dialami kebanyakan orang dengan rasa hormat pada kebutuhan lain di level rendah mengalihkan energy mereka pada perjuangan untuk memenuhi kebutuhan tersebut dan kebutuhan pemenuhan diri tetap saja terbengkalai.

 

I.        Manajemen dan Motivasi

Kita telah mengetahui bahwa orang yang menderita kekurangan pangan yang parah akan sakit. Kekurangan akan kebutuhan psikologi mempunyai dampak terhadap perilaku. Hal yang sama juga terjadi pada kebutuhan level atas, meskipun kurang dikenal. Seseorang yang kebutuhan keamanan, asosiasi, kebebasan, statusnya dihalangi juga akan sakit seperti seseorang yang menderita rakhitis. Dan penyakitnya ini akan berakibat pada perilaku. Kita salah jika menyebut sikap pasifnya, permusuhannya, penolakannya untuk menerima tanggung jawab sebagai sifat alami manusia yang melekat padanya. Perilaku seperti itu merupakan gejala penyakit—rasa kehilangan akan kebutuhan sosial dan egoistisnya.

Orang yang telah terpenuhi kebutuhan level bawahnya tidak lagi termotivasi untuk memuaskan kebutuhan tersebut. Untuk tujuan praktis kebutuhan itu tidak lagi ada.manajemen sering bertanya: “kenapa orang-orang tidak lebih produktif? Kami membayar upah yang bagus, menyediakan kondisi kerja yang baik, mempunyai sistem pegawai yang stabil dan menguntungkan. Tetapi orang-orang seperti tidak mau berusaha lebih baik.”

Fakta bahwa manajemen telah menyediakan kebutuhan psikologi dan keamanan telah mengubah penekanan motivasi kepada kebutuhan egoistis. Kecuali ada kesempatan di pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan pada level yang lebih tinggi ini, orang-orang akan sangat kekurangan  dan perilaku mereka akan mencerminkan kondisi kekurangan ini. Di bawah kondisi ini, jika manajemen terus focus pada kebutuhan psikologi maka usahanya tidak akan efektif.

Orang akan terus-menerus meinta uang lebih banyak di bawah kondisi ini. Maka akan menjadi lebih penting dari biasanya untuk membeli barang dan jasa yang dapat menyediakan pemuasan terbatas akan kebutuhan yang terhalangi tadi. Meskipun uang hanya mempunyai nilai terbatas dalam memuaskan kebutuhan level atas, ini dapat menjadi pusat kepentingan jika hanya uanglah alat yang tersedia.

J.       Pendekatan Wortel dan Tongkat

Teori wortel dan tongkat tentang motivasi (seperti teori fisika Newton) berlaku dengan baik di bawah situasi tertentu. Alat pemuas kebutuhan psikologi manusia dan dalam batas tertentu kebutuhan keamanan dapat disediakan atau tidak diberikan oleh manajemen. Pekerjaan itu juga merupakan alat demikian juga uaph kerja, kondisi kerja dan keuntungan. Dengan alat-alat tersebut individu dapat dikendalikan selama dia berusaha untuk mencari nafkah.

Tetapi teori wortel dan tongkat tidak berlaku sekaligus jika seseorang telah mencapai level penghidupan yang cukup dan termotivasi akan kebutuhan pada level yang lebih tinggi. Manajemen tidak dapat menyedia kanrasa hormat pada diri untuk seseorang, atau rasa hormat dari kelompoknya atau pemuasan kebutuhan akan pemenuhan diri. Ini dapat menciptakan suatu kondisi dimana dia didorong untuk mencari pemuasan bagi dirinya sendiri atau ini dapat menghalanginya dengan gagalnya terciptanya kondisi itu.

Tetapi penciptaan kondisi tersebut bukanlah kendali. Ini bukanlah alat  yang bagus untuk mengarahkan perilaku. Dan sehingga manajemen menemukan dirinya pada posisi yang ganjil. Standar kehidupan tinggi yang diciptakan oleh teknologi modern menyediakan pemenuhan kebutuhan psikologi dan kebutuhan keamanan secara mencukupi. Pengecualian yang cukup signifikan adalah dimana praktek manajemen tidak dapat menciptakan kepercayaan diri—dan maka dari itu kebutuhan keamanan terhalangi. Tetapi dengan membuat pemuasan yang memungkinkan akan kebutuhan level rendah, manajemen menghalangi dirinya sendiri terhadap kemampuan untuk menggunakan hal-hal yang dipercaya oleh teori konvensional—penghargaan, janji, insentif atau ancaman dan alat pemaksa lainnya—sebagai motivator.

Filosofi manajemen tentang arahan dan kendali—dengan mengabaikan keras atau lemahnya—tidaklah cukupuntuk memotivasi karena kebutuhan manusia yang menggunakan pendekatan ini sekarang menjadi motivator perilaku yang tidak penting. Arahan dan kendali menjadi tidak berfungsi dalam memotivasi orang-orang yang kebutuhan pentingnya adalah kebutuhan sosial dan egoistis. Pendekatan keras maupun lemah gagal karena tidak lagi relevan dengan situasi sekarang.

Orang-orang yang kehilangan kesempatan untuk memenuhi kebutuhan yang penting bagi diri mereka di tempat kerja berlaku tepat seperti yang diperkirakan—dengan kemalasan, sikap pasif tidak mau berubah, kurang bertanggung jawab, kemauan mengikuti peminpin, permintaan tak beralasan akan keuntungan ekonomis. Hal ini akan membuat kita terlihat terjebak dalam jaring yang kita buat sendiri.

 

K.      Teori Baru Manajemen

Untuk banyak alasan, kita membutuhkan teori yang berbeda tentang tugas pengaturan orang-orang berdasarkan asumsi yang memadai tetntang sifat manusia dan motivasi mereka. Akan secara tegas disarankan dimensi yang luas dari teori tersebut. Sebut saja teori Y.

  1. Manajemen bertanggung jawab terhadap pengaturan factor produksi perusahaan—uang, bahan baku, peralatan, tenaga kerja—dalam kepentingan tujuan ekonomi.
  2. Orang-orang tidak secara alami pasif ataupun melawan kebutuhan organisasi. Mereka menjadi pasif dan melawan sebagai akibat pengalaman di organisasi.
  3. Motivasi, potensi pengembangan, kapasitas tanggung jawab, kesiapan mengarahkan perilaku menuju tujuan organisasi semuanya itu ada pada manusia. Manajemen tidak menempatkan mereka di kondisi itu. Ini merupakan tanggung jawab manajemen untuk memungkinkan orang-orang mampu mengenali dan mengembangkan sifat manusia tersebut untuk mereka sendiri.
  4. Hal penting dalam tugas manajemen adalah mengatur kondisi organisasi dan metode operasi sehingga orang-orang dpat mencapai tujuan mereka yang pali baik dengan cara mengarahkan usaha mereka sendiri menuju tujuan organisasi.

Ini merupakan sebuah proses yang terutama menciptakan kesempatan, menggunakan potensi, menghilangkan rintangan, mendorong pertumbuhan, menyediakan panduan. Inilah yang disebut manajemen tujuan sebagai kebalikan dari manajemen kendali oleh Peter Drucker. Manajemen ini tidak melibatkan kegagalan manajemen, ketiadaan kepeimpinan, penurunan standar atau karakter lain yang biasanya melekat pada pendekatan halus pada teori X.

 

L.       Beberapa Kesulitan

Sekarang sudah bukan tidak mungkin lagi menciptakan organisasi yang merupakan penerapan yang penuh dan efektif dari teori Y daripada yang diciptakan pada saat membangun reactor nuklir pada tahun 1945. Ada beberapa rintangan berat yang harus dihilangkan.

Kondisi yang menjatuhkan dari teori organisasi konvensional dan dari pendekatan manajemen ilmiah selama setengah abad telah mengikat manusia pada keterbatasan pekerjaan yang tidak memfasilitasi kemampuan mereka telah mengecilkan penerimaan tanggung jawab, mendorong sikap pasif, menghilangkan arti bekerja. Kebiasaan manusia, tindak-tanduk, pengharapan—konsep menyeluruh tentang keanggotan dalam sebuah organisasi industri—telah dikondisikan dengan penelitiannya di bawah situasi tersebut di atas.

Sekarang ini orang terbiasa diarahkan, dimanipulasi dan dikendalikan dalam organisasi industry dan untuk menemukan kepuasan akan kebutuhan sosial, egoistis dan pemenuhan diri terpisah dari pekerjaan. Hal ini nyata terjadi pada manajemen juga pada pekerja.  Kependudukan industry yang asli—meminjam istilah Drucker—merupakan ide yang tidak realistis dan jauh jangkauannya, arti yang mana tidak dipaertimbangkan oleh kebanyakan organisasi industry.

Cara lain untuk mengatakan bahwa teori X menempatkan kepercayaan eksklusif atas kendali eksternal perilaku manusia, sedangkan teori Y mengandalkan pengendalian diri dan pengarahan diri sendiri. Hal ini perlu diperhatikan bahwa perbedaan antara memperlakukan manusia seperti anak-anak dan memperlakukan mereka sebagai orang dewasa yang matang dalam berpikir. Setelah generasi sebelumnya, kita tidak bisa berharap mengubahnya dalam waktu semalam.

 

M.      Langkah-langkah Dalam Arahan yang Benar

Sebelum kita kewalahan dengan banyak rintangan, mari kita ingat lagi bahwa penerapan teori biasanya lambat. Kemajuannya biasanya dicapai sedikit demi sedikit. Beberapa ide inovatif yang konsisten dengan teori Y sekarang diterapkan dengan beberapa kesuksesan.

 

1.       Desentralisasi dan Delegasi

Ini merupakan cara membebaskan orang-orang dari pengendalian dalam organisasi konvensional yang terlalu ketat, memberikan mereka derajat kebebasan untuk mengarahkan kegiatan mereka sendiri, memikul tanggung jawab, dan yang penting memuaskan kebutuhan egoistis mereka. Dalam hubungan ini, organisasi apartemen Sears Roebuck & Co menyediakan contoh yang menarik. Ini memaksa manajemen tujuan, karena menambah jumlah orang yang melapor ke manajer sampai-sampai dia tidak bisa mengarahkan dan mengendalikan mereka dalam tingkah laku konvensional.

 

2.       Perluasan Pekerjaan

Konsep ini, dirintis oleh IBM dan Detroit Edison, cukup konsisten dengan teori Y. ini mendorong penerimaan tanggung jawab pada bagian dasar organisasi, menyediakan kesempatan untuk memuaskan kebutuhan sosial dan egoistis. Kenyataannya, reorganisasi pekerjaan di level pabrik menawarkan satu dari banyak kesempatan menantang untuk inovasi yang konsisten dengan teori Y

3.       Manajemen Konsultatif dan Partisipasi

Di bawah kondisi yang memadai, manajemen konsultatif dan partisipasi mendorong orang-orang untuk mengarahkan energy kreatif menuju tujuan organisasi, memberikan hak suara dalam pengambilankeputusan yang mempengaruhi mereka, menyediakan kesempatan yang signifikan untuk memuaskankebutuhan sosial dan egoistis. Rencana Scanlon adalah perwujudan yang terkenal dari ide ini.

 

4.       Penilaian Kinerja

 Bahkan pemeriksaan sepintas lalu pada program konvensional dari penilaian kinerja dalam tingkat manajemen akan mengungkap betapa konsistennya program konvensional terhadap teori X. kenyataannya kebanyakan dari program itu cenderung memperlakukan individu sebagai sebuah produk di bawah pemeriksaan bagian perakitan.

Beberapa perusahaan—diantaranya General Mills Inc., Ansul Chemical dan General Electric Company—telah bereksperimen dengan pendekatan yang melibatkan individu dalam setting target atau tujuan untuk dirinya sendiri dan evaluasi diri akan kinerja setengah-tahunan atau tahunan. Tentu saja pimpinan memainkan peran kepemimpinan penting dalam proses ini—satu yang membutuhkan pendekatan kompetensi lebih banyak daripada pendekatan konvensional. Perannya lebih menyenangkan bagi banyak manajer daripada peran hakim atau pengawas yang biasanya dipaksakan atas mereka. Di atas semua itu, individu didorong untuk megambil tanggung jawab yang lebih besar untuk merencanakan dan menilai kontribusi mereka sendiri terhadap tujuan organisasi, dan efek pendampingan pada kebutuhan egoistis dan pemenuhan diri sangatlah penting.

 

N.      Penerapan Ide-ide

Kegagalan yang tidak sering dari ide sebagaimana ini bekerja seperti yang diharapkan sering dikaitkan pada fakta bahwa manajemen telah membeli ide tapi menerapkannya dalamkerangka teori X berikut asumsinya.

Delegasi bukanlah cara yang efektif untuk melatih manajemen kendali. Partisipasi menjadi lelucon ketika diterapkan sebagai alat pemasaran atau alat untuk mempermainkan orang sehingga mereka berpikir mereka penting. Hanya manajemen yang percaya pada kemampuan manusia dan mengarahkan dirinya sendiri kepada tujuan organisasi daripada kepada pemeliharaan kekuatan personal yang dapat memegang implikasi teori yang muncul. Manajemen semacam ini akan menemukan dan menerapkan ide inovatif lain secara sukses seiring kita bergerak perlahan menuju penerapan penuh teori Y

 

O.      Sisi Perusahaan Manusia

Cukup mungkin bagi kita untuk menyadari peningkatan yang penting dalam efektifitas organisasi industry selama satu atau dua decade mendatang. Ilmu sosial dapt menyumbang banyak untuk perkembangan ini, kita baru memulai memegang indikasi pertumbuhan pengetahuan dalam bidang ini. Tapi jika keyakinan ini menjadi kenyataan kita akan perlu melihat proses seperti kita melihat proses pelepasan energi atom untuk tujuan konstruktif manusia—sebagai pendekatan yang lambat, mahal dan kadang mengecilkan hati menuju sebuah tujuan yang bagi sebagian orang terlihat tidak realistis.

Kepandaian dan ketekunan manajemen industri dalam mencapai tujuan ekonomi telah mengubah banyak impian ilmiah dan teknologi menjadi kenyataan. Kini menjadi semakin jelas bahwa penerapan sifat bawaan ini pada sisi perusahaan manusia tidak hanya meambah pencapaian material tapi juga akan membawa kita selangkah lebih dekat pada masyarakat yang bagus.

CRITICAL REVIEW BUKU MANAJEMEN PELAYANAN

CRITICAL REVIEW

BUKU MANAJEMEN PELAYANAN

Judul buku      : Manajemen pelayanan

(Pengembangan model konseptual, penerapan citizens charter dan standar pelayanan)

Penulis             : Ratminto & Atik Septi Winarsih

Penerbit           : Pustaka Pelajar

Cetakaan         : II Maret 2006

Tebal               : xxi + 399 halaman

Pendahuluan

Manajemen pelayanan merupakan suatu proses penerapan ilmu dan seni untuk menyusun rencana, mengimplementasikan rencana, mengoordinasikan, dan menyelesaikan aktivitas-aktivitas pelayanan demi tercapainya tujuan-tujuan pelayanan.

Pelayanan publik juga merupakan bagian yang krusial dalam praktek negara demokrasi, bahkan banyak ahli mengatakan bahwa pelayanan publik sebagai demokrasi dalam artian yang sebenarnya karena demokrasi sebagai konsep hanya dapat dirasakan dalam kualitas layanan yang diberikan oleh pemerintah kepada rakyatnya. Dengan tingkat heterogenitas dan penyebaran yang luas, maka  sangatlah rentan bagi suatu pemerintahan dapat memenuhi kebutuhan layanan masyarakat sesuai dengan tingkat kebutuhan apalagi tingkat kepuasan rakyat. Dalam konteks ini layanan menjadi tolok ukur penting untuk melihat perjalanan demokrasi dan desentralisasi. Dengan demikian demokrasi dan desentralisasi harus dilihat dari kemampuan pemerintah dan pemerintah daerah dalam melakukan transaksi sosial yang paling nyata dalam kehidupan sehari-hari yaitu layanan publik.

  1. PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK/PELAYANAN UMUM

  • Pelayanan publik/pelayanan umum oleh organisasi publik: Yang bersifat primer dan yang bersifat sekunder
  • Pelayanan publik/pelayanan umum oleh organisasi privat
  • Pelayanan publik oleh pemerintah dan bersifat primer: semua penyediaan barang/jasa yang diselenggarakan oleh pemerintah yang di dalamnya pemerintah merupakan satu-satunya penyelenggara, dan pengguna mau tidak mau harus memanfaatkannya
  • Pelayanan publik oleh pemerintah dan bersifat primer: semua penyediaan barang/jasa yang diselenggarakan oleh pemerintah, tetapi di dalamnya pengguna tidak harus mempergunakannya karena adanya beberapa penyelenggara pelayanan.
  • Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh privat: semua penyediaan barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh swasta.

Lima karakteristik pembeda jenis penyelenggaraan pelayanan publik:

1)      Adaptabilitas layanan: derajat perubahan layanan sesuai dengan tuntutan perubahan yang diminta oleh pengguna.

2)      Posisi tawar menawar pengguna: semakin tinggi posisi tawar menawar pengguna, semakin tinggi pula peluang pengguna untuk meminta pelayanan yang lebih baik.

3)      Tipe pasar: menggambarkan jumlah penyelenggara pelayanan yang ada, dan hubungannya dengan pengguna.

4)      Locus kontrol: siapa yang memegang kontrol atas transaksi, pengguna atau penyelenggara pelayanan.

5)      Sifat pelayanan: kepentingan pengguna atau penyelenggara pelayanan yang lebih dominan.

  1. 2.        ALASAN PENTINGNYA MANAJEMEN PELAYANAN

Dua hal yang mengakibatkan Manajemen Pelayanan menjadi suatu kajian yang sangat penting untuk dipelajari:

  • Berlakunya UU No.22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah; yang kemudian kedua UU tersebut direvisi dengan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dengan berlakunya UU tersebut akan semakin banyak aktivitas yang harus ditangani oleh Daerah, sehingga aparat di Daerah dituntut untuk dapat memahami dan mempraktekkan ilmu Manajemen Pelayanan.
    -Berlakunya UU No. 32 dan 33 Tahun 2004 tsb mengakibatkan interaksi antara aparat Daerah dan masyarakat menjadi lebih intens; hal ini juga ditambah dengan makin kuatnya tuntutan demokratisasi dan pengakuan akan HAM yang akan melahirkan kuatnya tuntutan terhadap manajeman pelayanan yang berkualitas.
  • Globalisasi dan era perdagangan bebas menyebabkan batas-batas antar negara menjadi kabur dan kompetisi mjd sangat ketat. Hal ini menuntut kemampuan manjemen pelayanan yang sangat tinggi untuk dapat tetap eksis dan mampu bersaing.

 

Prinsip Pelayanan Publik

 

  • Kesederhanaan : prosedurnya tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan dilaksanakan.
  • Kejelasan: jelas dalam hal: persyaratan teknis dan administratif; unit kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik; serta rincian biaya dan tata cara pembayarannya.
  • Kepastian waktu: dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
  • Akurasi: produknya diterima dengan benar, tepat dan sah.
  • Keamanan: proses dan produknya memberikan rasa aman dan kepastian hukum.
  • Tanggungjawab: penyelenggara bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian persoalan yang timbul.
  • Kelengkapan sarana dan prasarana: tersedia sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan informatika.
  • Kemudahan akses: tempat, lokasi dan sarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau dan dapat memanfaatkan teknologi telekomunikasi dan informatika.
  • Kedisiplinan, kesopanan, dan keramahan: pemberi layanan harus bersikap disiplin, santun, serta ikhlas.
  • Kenyamanan: lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, nyaman, bersih, rapi, serta dilengkapi dengan berbagai fasilitas pendukung pelayanan.

Standar Pelayanan Publik

 

Setiap penyelenggaraan pelayanan publik harus memiliki standar pelayanan dan dipublikasikan sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima pelayanan; dan standar pelayanan tersebut harus ditaati oleh pemberi atau penerima pelayanan.

  • Prosedur pelayanan: prosedur pelayanan yang dibakukan bagi pemberi/ penerima pelayanan termasuk pengaduan.
  • Waktu penyelesaian: ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan sampai dengan penyelesaian termasuk pengaduan.
  • Biaya pelayanan: biaya/tarif pelayanan termasuk rinciannya yang ditetapkan dalam proses pemberian pelayanan.
    -Produk pelayanan: hasil pelayanan yang akan diterima sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
  • Sarana dan prasarana: penyediaan sarana dan prasarana pelayanan yang memadai oleh penyelenggara pelayanan.
  • Kompetensi petugas pemberi pelayanan: harus ditetapkan dengan tepat berdasarkan pengetahuan, keahlian, ketrampilan, sikap dan perilaku yang dibutuhkan.

Faktor Manajerial Penentu Kualitas Pelayanan

 

  • Posisi tawar menawar pengguna jasa pelayanan
  • Kuatnya Berfungsinya mekanisme voice
  • Birokrat yang berorientasi pada kepentingan masyarakat, khususnya pengguna jasa.
  • Terbangunnya kultur pelayanan dalam organisasi pemerintah yang bertugas memberikan pelayanan.
  • Diterapkannya sistem pelayanan yang mengutamakan kepentingan masyarakat pengguna jasa pelayanan.

Kuatnya posisi tawar menawar pengguna jasa pelayanan

Pelayanan publik yang berkualitas mensyaratkan adanya kesetaraan hubungan /kesetaraan posisi tawar menawar antara pemberi dan penerima pelayanan. Penguatan posisi tawar menawar pengguna jasa pelayanan antara lain dapat dilakukan dengan memberitahukan dan mensosialisasikan hak-hak dan kewajiban pemberi maupun pengguna jasa pelayanan (konsep citizen’s charter).

Berfungsinya mekanisme voice

Pengguna pelayanan harus diberi kesempatan untuk mengekspresikan ketidakpuasan-nya atas pelayanan yang diterima. Faktor utama dalam manajemen pelayanan publik adalah SDM atau birokrat yang bertugas memberi pelayanan. Untuk itu peningkatan kualitas SDM mutlak diperlukan; sehingga kepentingan pengguna jasa pelayanan mendapatkan perhatian secara proporsional. Diterapkannya sistem pelayanan yang mengutamakan kepentingan masyarakat pengguna jasa pelayanan.

Faktor lain yang juga sangat penting dalam manajemen pelayanan publik adalah beroperasinya sistem pelayanan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat. Pelayanan dapat menjadi sangat tidak berkualitas apabila sistem yang diterapkan tidak memihak pada kepentingan pengguna jasa.

Salah satu faktor yang harus ada agar dapat diselenggarakan pelayanan yang berkualitas adalah adanya budaya pelayanan yang berorientasi kepada kepentingan pelanggan atau pengguna jasa. Oleh karena itu dibahas pula tentang penciptaan budaya pelayanan. Dimulai dengan tinjauan konsep dan teori, kemudian dilanjutkan tentang penelaahan kebijakan yang terkait dengan penciptaan budaya pelayanan dikalangan aparat pemerintahan di Indonesia.

Pelayanan yang baik hanya akan dapat diwujudkan apabila dalam lingkungan internal organisasi penyelenggara layanan terdapat: (a) sistem pelayanan yang mengutamakan kepentingan masyarakat, khususnya pengguna jasa, (b) kultur pelayanan dalam organisasi penyelenggara pelayanan, dan (c) sumber daya manusia yang berorientasi pada kepentingan pengguna jasa. Tiga hal tersebut dimaksudkan untuk memperkuat posisi tawar pengguna jasa pelayanan sehingga terjadi keseimbangan hubungan antara penyelenggara layanan dan pengguna jasa pelayanan . mekanisme internal tersebut akan dapat berfungsi secara lebih optimal apabila secara eksternal diimbangi dengan berfungsinya mekanisme ‘voice’yang dapat diperankan oleh Media, Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Profesi, dan Ombudsmen atau Lembaga Banding,  mengutamakan kepentingan masyarakat pengguna jasa pelayanan dalam konteks pelayanan Pemerintah di bidang perizinan.

Apakah sebenarnya citizens charter itu?

Pada awalnya ini adalah merupakan suatu dokumen yang di dalamnya disebutkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang melekat baik dalam diri providers maupun dalam diri costumers. Kemudian dalam perkembangannya, dalam dokumen tersebut disebutkan juga sanksi-sanksi apabila salah satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya.

Kemudian seiring denganperkembangan konsep dan teori manajemen strategis, dalam citizen’s charter juga disebutkan visi dan misi organisasi penyelenggara jasa pelayanan, dan juga visi dan misi pelayanan organisasi tersebut. di tahun 2003 Denhardt & Denhardt (2003) dalam bukunya governance, administration and development making the state work, kembali menegaskan bahwa pelayanan publik seharusnya tdak hanya berfokus pada kepentingan pelanggan atau pengguna jasa (customer atau client) tetapi harus berorientasi kepada kepentingan masyarakat atau warga Negara (citizen)
Terdapat beberapa hal yang menurut kami masih kurang dalam buku yang kami review. Dan sebagai bahan pelengkap dari kekurangan itu maka penulis mengambil beberapa buku untuk melengkapi apa yang telah disampaikan di dalam buku review.

Kami sengaja mengambil buku-buku seperti Enam Dimensi Strategi Administrasi Publik oleh Yeremias T. Keban cetakan 2004. Total Quality Manajemen karangan Vincent Gasperzs cetakan 2001, dan buku Perencanaan SDM karangan H.Hadari Nawawi cetakan 2001 dengan maksud untuk pelengkap.

CRITICAL REVIEW

Di dalam buku lain Total Quality Managemant, karangan Vincent Gaspersz definisi Pelanggan :

1)        Pelanggan adalah orang yang tidak tergantung pada kita, tetapi kita yang
tergantung padanya.

2)        Pelanggan adalah orang membawa kita kepada keinginannya.

3)        Tidak ada seorang pun yang pernah menang mengadu argumentasi dengan pelanggan.

Pelanggan adalah orang yang teramat penting yang harus dipuaskan.
Pada dasarnya dikenal 3 jenis pelanggan dalam sistem kualitas modern:
Pelanggan internal, adalah orang yang berada dalam perusahaan dan memiliki
pengaruh pada performansi pekerjaan kita.  Pelanggan antara, adalah mereka yang bertindak atau berperan sebagai perantara, bukan sebagai pemakai akhir produk itu.

Pelanggan eksternal, adalah pembeli atau pemakai akhir produk itu, yang sering disebut sebagai pelanggan nyata. Pelanggan eksternal merupakan orang yang membayar untuk menggunakan produk yang dihasilkan itu.

Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan ekspektasi pelanggan:

1)        Kebutuhan dan keinginan yang berkaitan dengan hal-hal yang dirasakan pelanggan ketika ia sedang mencoba melakukan transaksi dengan produsen/pemasok produk.

2)        Pengalaman masa lalu ketika mengkonsumsi produk dari perusahaan maupun pesaing-pesaingnya.

3)        Pengalaman dari teman-teman, dimana mereka akan menceritakan kualitas produk yang akan dibeli oleh pelanggan itu. Hal ini jelas mempengaruhi persepsi-persepsi pelanggan terutama pada produk-produk yang dirasakan beresiko tinggi.

4)        Komunikasi melalui iklan-iklan dan pemasaran juga mempengaruhi persepsi pelanggan. Orang – orang bagian penjualan dan periklanan seyogyanya tidak membuat kampanye yang berlebihan melewati tingkat ekspektasi pelanggan.

Terdapat juga 4 kelompok orang yang terlibat dalam operasi dan perbaikan proses,yaitu:

1)        Pelanggan,adalah orang yang akan menggunakan output secara langsung, atau orang yang akan menggunakan output itu sebagai input dalam proses kerja mereka.

2)        Kelompok kerja, adalah orang-orang yang bekerja dalam proses untuk menghasilkan dan menyerahkan output yang diingankan itu.

3)        Pemasok, adalah orang yang memberikan input ke proses kerja.Orang-orang yang bekerja dalam proses pada kenyataannya merupakan pelanggan dari pemasok.

4)        Pemilik, adalah orang yang bertanggung jawab untuk operasi dari proses dan untuk perbaikan proses itu.

Aspek-aspek yang perlu diukur dalam program Pengukuran Kualitas, pada dasarnya kita harus memperhatikan aspek internal, dan aspek eksternal dari suatu organisasi.

Dalam hal ini,juga diterapkan adanya management-management kualitas berdasar elemen-elemen yang megacu pada hal pokok berikut ini:

1)      Visi organisasi, yatu memberikan kerangka kerja yang menuntun suatu nilai dan kepercayaan suatu perusahaan, yang seharusnya bersifat sederhana, terdiri dari satu kalimat penuntun atau motto yang diketahui atau dipercaya setiap karyawan.

2)      Menghilangkan hambatan, dengan beberapa strategi yang direkomendasikan dalam proses menghilangkan hambatan, adalah:

  • Menghilangkan ketakutan
  • Mendukung dan menghargai pemikiran kreatif, meskipun ide-ide itu tidak diimplementasikan.
  • Memperbaiki dan memperbaharui sistem pengukuran performansi
  • Mempertimbangkan biaya sepanjang siklus hidup produk, tidak hanya biaya awal menetapkan kepemilikan tugas-tugas dan proyek-proyek langkah-langkah untuk menghilangkan hambatan:
    • Identifikasi hambatan yang ada
    • Mengkategorikan hambatan yang ada
    • Menetapkan prioritas untuk diselesaikan
    • Menyelesaikan masalah dengan menemukan akar penyebab permasalahan itu.

3)      Komunikasi, adalah perekat yang mengikat semua tekhnik,praktek,filosofi,dan alat-alat untuk kesuksesan penegembangan management kualitas. Dapat secara tertulis maupun lesan Semua bentuk komunikasi melibatkan 4 elemen utama, yaitu: pengirim, penerima, pesan, dan media yang perlu diperhatikan dalam komunikasi aagar menjadi efektif dan efisien.

4)      Evaluasi terus-menerus,didasarkan pada umpan balik merupakan elemen penting untuk perbaikan terus-menerus dalam rangka mengembangkan management kualitas. Mekanisme bolak-balik dapat bersifat sederhana secara lisan atau tertulis, menggunakan sistem informasi kualitas atau analisis yang kompleks terintegrasi dengan sistem management kualitas.

5)      Perbaikan terus-menerus,

Beberapa strategi untuk menerapkan berbagai perbaikan terus-menerus:

  • Mulai dengan suatu proyek contoh
  • Analisis variasi dari semua proses
  • Memperhatikan proses,tidak hanya hasil
  • MeMbuat proses menjadi lebih sederhana lagi.
  • Mengusahakan untuk secara konstan melakukan investasi dalam teknologi baru.
  • Memandang masalah dan kegagalan sebagai suatu kesempatan untuk perbaikan.

6)      Hubungan pemasok dan pelanggan Beberapa strategi untuk meningkatkan hubungan antara pemasok dan pelanggan adalah:

  • Menghubungkan visi organisasi ke kepuasan pelanggan.
  • Memberikan penghargaan pada pemasok
  • Membina hubungan dengan lebih sedikit pemasok.

Buku yang berjudul ”Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik (Konsep Teori Dan Isu) ” karangan Yeremias T. Keban Pergeseran paradigma dalam administrasi publik menyebabkan berubahnya posisi masyarakat sebagai pengguna jasa layanan kini dipandang sebagai citizen yang harus dipenuhinya kebutuhan dasarnya. Pemenuhan kebutuhan ini tentu saja termasuk pemberian layanan dari pemerintah yang berupa pelayanan pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.

Diuraikan mengenai enam dimensi dalam administrasi publik. Salah satu-nya adalah dimensi manajemen. Dimensi ini berkenaan dengan bagaimana menerapkan prinsip-prinsip manajemen untuk  mengimplementasikan kebijakan yang telah dibuat jadi apabila kita mempelajari tentang manajemen pelayanan hendaknya kita mengetahui dimensi-dimensi lain seperti kebijakan, dimensi manejemen, dimensi organisasi, dimensi etika, dimensi lingkungan, dan dimensi kinerja.

Sedangkan dalam buku Manajemen jasa karangan Fandy Tjiptono
lebih dijelaskan tentang konsep kualitas jasa. Service excellence atau pelayanan yang unggul merupakan suatu sikap atau cara karyawan dalam melayani pelanggan secara memuaskan (Elhaitammy,1990). Secara garis besar ada empat unsur pukok dalam konsep ini, yaitu: (1) kecepatan, (2) ketepatan, (3) keramahan, (4) kenyamanan.

Keempat komponen tersebut merupakan satu kesatuan pelayanan yang terintegarasi, maksudnya pelayanan atau jasa menjadi tidak excellence apabila ada komponen yang kurang.

Harapan pelanggan merupakan sesuatu yang di perlu dikaji dalam menajemen pelayanan publik, karena harapan pelanggan merupakan keyakinan pelanngan sebelum mencoba atau menggunakan jasa pelayanan publik, yang dijadikan standar atau acuan dalam menilai kinerja pemberi layanan tersebut. Harapan pelanggan terhadap jasa dipengaruhi faktor-faktor sebagai berikut:

  • Enduring service intensifiers, bersifat stabil, mendorong pelanggan untuk meningkatkan sensitivitasnya terhadap jasa
  • Personel need, kebutuhan mendasar yang sangat menentukan harapannya.
  • Transitory service intensifiers
  • Perceived service alternatives
  • Self-perceived service role
  • Situational factors
  • Explicit sevice promises
  • Implicit sevice promises
  • Word-of-mouth (rekomendasi atau saran dari orang lain)
  • Past experience

 

DAFTAR PUSTAKA

Gaspersz, Vincent. 2005. Total Quality Management. PT. Jakarta: Gramedia
Ratminto & Atik Septi Winarsih. 2006. Manajemen Pelayanan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tjiptono, Fandy. 2002. Manajemen Jasa. Yogyakarta: Penerbit Andi Yogyakarta Pusaka Utama

Yeremias T. Keban, PhD. 2004. Enam Dimensi Strategis, Administrasi Publik, Konsep, Teori dan Isu.Yogyakarta: Gaya Media.

Critical Review: THE CONCEPT OF BUREAUCRACY IN SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE by Martin Albrow

Critical Review:

THE CONCEPT OF BUREAUCRACY IN SOCIAL AND POLITICAL

SCIENCE by Martin Albrow

 

Oleh: RUDI HARTONO, SIK, MH,M.Si

A.1. Introduction

Confusius memandang bahwa tugas pertama pemerintahan adalah meluruskan penggunaan ‘nama-nama atau istilah-istilah’ dalam masyarakat, karena jika hal itu tidak dilakukan maka menyebabkan hilangnya ‘keadilan’, menimbulkan anarki, bahkan perang.

Gagasan buku ini merupakan kumpulan tulisan para ahli yang digunakan untuk didiskusikan pada lapangan atau kegiatan politik., sehingga tujuan penulisan buku ini adalah :

1)      Untuk keperluan teks politik buat mahasiswa (dunia universitas) agar mengerti konsep-konsep birokrasi;

2)      Untuk keperluan diluar dunia universitas yang punya waktu untuk membahas konsep-konsep birokrasi.

Orang-orang yang menulis dalam buku ini, tidak memiliki pola yang sama dalam penulisannya, karena hal itu diserahkan pada penulisnya masing-masing. Namun ada tiga aspek yang secara umum akan muncul dalam setiap bagian tulisan ini, yaitu :

1)      Sejarah dari konsep-konsep itu sendiri;

2)      Arti symantik bahasa dari yang ditulis;

3)      Penulis tidak memberikan suatu kesimpulan ‘khusus’ karena semua itu diserahkan kepada pembaca untuk mengambil kesimpulan sendiri dari masing-masing bagian tulisan.

Oleh karena itu, tujuan buku ini hanya bersifat untuk mengklarifikasi dari kebingungan-kebingungan istilah-istilah ‘birokrasi’. Dengan mendiskripsikan, menelaah, menganalisis, dan menjelaskan perkembangan dari teori birokrasi itu

sendiri. Jadi bukan bertujuan ;

1)      Untuk membangun suatu teori-teori dan konsep-konsep baru;

2)      Untuk menjadi wasit (penengah) guna menentukan mana yang paling benar dari konsep-konsep yang lagi bersaing atau berbeda pendapat itu.

Namun ada suatu kesimpulan yang bersifat umum, yaitu dalam rangka untuk pengembangan teori birokrasi di masyarakat/negara.

 

A.2 The Emergence of the Concept

(1) The Origin of the Term

Istilah ‘birokrasi’ pertama ditemukan dalam surat-surat Baron de Grimm, seorang philosof Prancis pada Juli 1764, kepada pemerintah dan menginginkan adanya aturan-aturan, yang seharusnya pemerintahan yang besar berkonsentrasi terhadap hal ini. Namun dalam kurun waktu ini belum secara jelas didefinisikan apa itu ‘birokrasi’.

 

 

 

(2) Early Nineteenth – Century Concepts

Pada kurun waktu ini (1896) ditemukan bahwa istilah ‘birokrasi’ telah dikenal dalam “Kamus Politik Prancis’ sebenarnya berasal dari Jerman, namun lebih popupler di Prancis (dipopulerkan istilah birokrasi itu oleh Balzic).

Cristian Kraus (1799) menemukan bahwa di Prussia terdapat aturan-aturan yang berbeda dengan sistem pemerintahan monarki dan anarki yang ada. Meskipun belum didefinisikan, namun telah menerapkan unsur baru ‘birokrasi’. Hal ini (birokrasi) masih sebatas kajian yang kurang serius (masih sebatas dialog dan berita-berita di surat-surat kabar) dan istilah ‘birokrasi’ ini masih kurang populer di masyarkat.

Johan Gorres sebagai redaktur surat kabar the Rheinische Merkur, yang juga merupakan oposan pemerintahan monarki yang terusir dari Prussia mengatakan bahwa untuk membentuk persatuan nasional, maka unsur monarki dan demokrasi harus bekerja sama antara yang memerintah (rulling class) dan yang diperintah (ruled class), di mana salah satunya dengan jalan ‘birokrasi’. Karena birokrasi ini seperti ‘kesatuan tentara’ yang menerapkan disiplin, adanya kenaikan pangkat (promosi) dan kesatuan komando (sentralistik).

 

(3) The English Theory

Pemerintah Inggris tidak terlalu mempersoalkan pembahasan istilah ‘birokrasi’ seperti yang terjadi di Eropa Daratan yang lebih mempersoalkan penerimaan penggunaan istilah ‘birokrasi’.

J.S. Mill dalam ‘Principles of Political Economy’ (1848), sebagai orang Eropa Daratan mengatakan bahwa manajemen terhadap pemerintahan yang terlalu besar harus dicegah karena akan menimbulkan adanya ‘overbirokrasi’, seperti ketidakberesan urusan-urusan pemerintahan, terutama urusan ekonomi, sehingga menyebabkan antara yang memerintah (rulling class) dan yang diperintah (ruled

class) akan diperbudak oleh birokrasi itu sendiri.

(4) Continental Theory

Ada perbedaan-perbedaan yang sangat luas antara kondisi birokrasi di Jerman dan Inggris, yaitu :

(a)    Pemerintahan Inggris aman dari perdebatan istilah ‘birokrasi’ karena jauh dari tipe continental sehingga tidak secara mendetail membahas istilah ‘birokrasi’ karena sebenarnya negara-negara Eropa itu sebenarnya sama pemerintahannya.

(b)   Pemerintahan Jerman bersifat sentralistik, di mana birokrasi dikerjakan oleh pegawai-pegawai profesional, dimana pekerjaannya berdasarkan teknis administratif yang bersifat baku dan ketat dengan ilmu hukum.

Ide munculnya pembahasan ‘birokrasi’ itu pada tingkat yang radikal secara teori dan praktik di Jerman itu dikarenakan kekalahan yang diderita Rusia oleh Napoleon (1806). Pemerintah Jerman menerapkan konsep ‘collegium’, yaitu seperangkat pegawai yang tugasnya memberikan nasihat kepada penguasa dan fungsi pelakanaan hukum, keuangan, dan ketertiban. Kebebasan pegawai berpendapat ini pada akhirnya berdampak pada kelambatan mengambil keputusan.

 

(5) The Major Nineteenth – Century Themes

Konsep-konsep pokok pada kurun waktu ini adalah :

  • Max Weber dan J.S.Mill mengatakan bahwa birokrasi sebagai bentuk umum pemerintahan yang bertentangan dengan pemerintahan monarki dan aristokrasil.
  • Pemikir-pemikir Jerman mendefinisikan birokrasi sebagai bagaimana mengatur administrasi Jerman pada abad 19.
  • Van Mohl mengatakan bahwa adanya ketidakpuasan kepada pemerintah, menyebabkan birokrasi sebagai candu bagi masyarakat karena tidak berfungsinya pemerintah.

 

A.3 The Classical Formulations

(1) Mosca dan Michels

Mosca dan Michels mengkritik terhadap cara pengklasifikasian pemerintah yang dilakukan hingga masa itu, yang masih menggunakan pengklasifikasian model Aristoteles, yaitu terdiri dari demokrasi, aristokrasi, dan monarki. Padahal pengklasifikasian seperti itu sudah tidak relevan lagi secara substansial, karena pembagian tersebut hanya pembagian bentuk pemerintahan secara formal.

Untuk itu, mereka berdua mengajukan gagasan pemerintahan dengan konsep kekuasaan, yaitu dibagi menjadi dua kategori, rulling class atau yang memerintah dan ruled class atau yang diperintah.

Berdasarkan konsep itu, maka bentuk pemerintahan dapat dibagi menjadi dua, yaitu pemerintahan feodal dan birokrasi. Pemerintahan feodal merupakan rulling class yang bersifat sederhana karena semua urusan ekonomi, sosial, politik, bahkan kemiliteran memberikan otoritas yang bersifat langsung kepada personal yang diperintah.

Sedangkan pemerintahan birokrasi sudah menerapkan fungsi-fungsi yang jelas antara satu personal dengan personal yang lain. Karenanya pemerintahan demokrasi sudah tidak relevan lagi dan birokrasi bukan sesuatu yang netral sehingga dengan argumen ini banyak orang menganggap bahwa Mosca dan Michels sebagai pelopor fasisme Italia. Karena birokrasi sebagai bagian kekuasaan pemerintah, maka pendefinisian ‘birokrasi’ itu sudah tidak diperlukan

lagi.

(2) Marx Weber

Weber’s menganalisis bahwa organisasi merupakan hal yang penting bagi sebuah negara, partai politik, gereja, dan perusahaan. Weber mengatakan bahwa ada dua karakteristik yang ada dalam setiap sebuah organisasi, yang merupakan presentasi dari sebuah struktur organisasi, yaitu :

  • Pertama, kepemimpinan; dan
  • Kedua, staff administrasi

Berdasarkan karakteristik organisasi di atas, maka organisasi dan birokrasi menjadi sangat penting. Namun, Weber tidak pernah mendefinisikan istilah ‘birokrsi’ secara khusus, tetapi lebih bersifat dalam pengertian umum.

Birokrasi menurut Weber adalah pokok administrasi yang akan dijalankan oleh pegawai-pegawai. Birokrasi haruslah ‘bertipe rasional’, yaitu berkarakteristik teliti, kontinue, disipilin, tepat waktu, dan dapat dipercaya, dengan menempatkan pegawai-pegawai yang bersifat modern, sehingga terjadinya inefisiensi dapat diminimalisir.

Untuk mewujudkan hal itu, maka :

(1)   Semua pegawai diberi tugas yang spesifik;

(2)   Adanya fasilitas kerja, dan

(3)   Adanya beberapa orang yang dijadikan pemimpin yang diberikan otoritas lebih.

A.4 The Debate with Weber

Modernisasi, demikian kredo yang digunakan sebagai penggerak sejarah yang mengubah kekuasaan patrimonial –yang otoriter secara politik dan paternalistik secara kultural- menjadi kekuasaan legal-rasional yang dikendalikan oleh sebuah mesin birokrasi modern. Oleh karena itu, birokrasi di sini dipahami sebagai mesin teknis administratif yang dibutuhkan menangani kompleksitas masyarakat modern akibat modernisasi. Karenanya, birokrasi haruslah apolitis, rasional, netral, dan mengutamakan kualifikasi teknis, spesialisasi, deferensiasi, koordinasi, efisiensi, efektivitas, dan sebagainya.

Adanya ketidaksinkronan Weber dalam realitia, di satu sisi birokrasi harus rasional, namun di sini lain ternayata birokrasi tidaklah netral, sehingga  kelemahan paradoksal kaum Weberian itu mengundang reaksi keras kaum strukturalis (Marxian). Menurut kaum Marxian, mestinya birokrasi diciptakan terutama untuk pengendalian, menimalisasi konflik, dan memperkuat basis material negara, dalam kerangka kapitalisme.

Sistem administrasi dan manajemen industri yang modern, merupakan sarana pengendali proses produksi demi akumulasi kapital dan pengatur hubungan perburuhan agar tidak terjadi pembangkangan.

 

A.5 Bureaucracy and the Ideologists

(1) Karl Marx

Menurut Karl Marx menawarkan gagasan adanya pemerintahan ‘monolistik’, yaitu adanya gagasan bahwa dalam setiap pemerintah itu harus ada rulling class dan ruled class sangat ditentangnya. Karena bagi Marx ‘negara itu harus dihapuskan’ karena tidak diperlukan.

(2) Fasisme

Berbeda dengan Marxis, fasisme malah ingin mempertahankan adanya negara. Bagi mereka persoalan pokok yang harus dijawab adalah bagaimana hubungan antara negara dan individu, dan mereka mengajukan pendapat bahwa negara dan individu adalah identik. Karena sebenarnya individu-individu dan negara itu mempunyai kepentingan yang sama, karena sebenarnya negara itu tidak lain adalah penjelmaan dari individu-individu itu sendiri. Oleh karena itu, otoritas, hirarki, dan kepatuhan masyarakat terhadap negara harus dipertahankan bahkan jika perlu membuat pegawai pemerintah itu tidak menjadi populer di mata masyarakat.

Hal itui secara tegas dinyatakan oleh tokoh fasisme, Musollini yang menyatakan bahwa :

birokrasi sebagai kumpulan orang atau metode administrasi modern yang harus diterima apa adanya, karena bukan bangsa (masyarakat) yang menciptakan negara tapi negaralah yang menciptakan bangsa ”.

Musollini hanya menyurakan pandangan negatif tentang birokrasi, apabila saat berbicara tentang ‘birokratisasi’, yaitu adanya kemacetan ekonomi di bawah rezim komunis. Sedangkan Hitler mengatakan bahwa :

‘ negara (birokrasi) bukan sebagai tujuan tetapi hanya sebagai alat (politik) saja ’.

 

A.6 Seven Modern Concepts of Bureaucracy

Dalam konsep birokrasi modern, dalam bukunya ‘ bureaucracy ’ ini, Martin Albrow memberikan pengertian birokrasi ke dalam tujuh pengertian. Intinya mencakup keberadaan alat-alat perlengkapan negara, hubungan tugas dan kewajibanya, serta hubungan antara alat-alat perlengkapan tersebut yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dengan ciri-cirinya yang sangat spesifik. Inilah ciri dari suatu masyarakat modern.

Untuk lebih jelasnya ketujuh konsep birokrasi menurut Martin Albrow itu adalah sebagai berikut :

(1)     Pertama dan kedua, bureaucracy as rational organization and bureaucracy as the organizational inefficiency, Max Weber’s memberikan konsep birokrasi yang modern sebagai organisasi yang rasional. Di samping itu, birokrasi juga sebagai organisasi yang menimbulkan ketidakefisienan, sehingga terlihat adanya paradoksal pemaknaannya. Analisis Weber menekankan bahwa bentuk birokrasi organisasi memiliki pengaruh yang signifikan dalam meningkatkan efisiensi administrasi, seperti ketepatan, kecepatan, non ambiguitas, pengurangi friksi dan pengurangan biaya materi, serta biaya pribadi, kesemuanya dipertahankan untuk mencapai tujuan-tujuan optimal dalam administrasi yang sangat birokratis. Kita sesungguhnya, menerima pandangan ini, meskipun harus dijelaskan bahwa tidak sedikit kritikus yang mengecualikannya atau terjadinya inefisiensi. Birokrasi seringkali dipandang sebagai simbol keruwetan, tidak efisien, dan dominasi yang sewenang-wenang terhadap para publik masyarakat sebagai klien oleh pejabat-pejabat yang tidak mempunyai kepekaan nurani.

(2)     Ketiga, bureaucracy as rule by official, sebagai media untuk mengatur masyarakat melalui pegawai pemerintahan.

(3)     Keempat, bureaucracy as public administration, birokrasi sebagai bagian pengadministrasian masyarakat yang ada dalam suatu negara oleh pemerintah.

(4)     Kelima, bureaucracy as administration by officials, birokrasi merupakan sarana pengadministrasion proses pemerintahan oleh pegawai pemerintah.

(5)     Keenam, bureaucracy as the organization, Max Weber’s menganggap tidak terlalu ada perbedaan antara ‘istilah’ birokrasi dan organisasi, hanya saja tergantung dari momen pada saat digunakannya istilah itu. Namun birokrasi cakupannya lebih sempit apabila dibandingkan dengan organisasi, karena bisa jadi birokrasi merupakan bagian dari organisasi.

(6)     Ketujuh, bureaucracy as modern society, yang tidak boleh tidak, harus diterima oleh pemerintahan yang modern.

 

A.7 Bureaucracy and the Theorists of Democrac

Berangkat dari argumen awal bahwa birokrasi adalah institusi modern yang ‘wajib ada’ dalam khasanah penyelenggaraan pelayanan publik atau public service, maka birokrasi patut dicermati secara teoritik maupun empirik. Pencermatan terhadap kinerja birokrasi, yang nantinya dapat membawa kita pada sebuah penilaian menyangkut orientasi apa yang sesungguhnya diemban oleh birokrasi. Hal ini perlu digaris bawahi, mengingat meskipun birokrasi diyakini sebagai organ pelayanan publik, tak seorang pun dapat menjamin bahwa ia mungkin saja berubah menjadi ‘monster’ yang menakutkan dan justru akan menyengsarakan publik.

Birokrasi yang selalu dimaknai sebagai institusi resmi yang melakukan fungsi elayanan terhadap kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Segala bentuk  kebijakannya, semata-mata dimaknai sebagai manifestasi dari fungsi melayani urusan orang banyak. Akibatnya, tidak heran jika kemudian muncul persepsi bahwa apa pun yang dilakukan pemerintah adalah dalam rangka melayani kepentingan warga masyarakat, yang diwakili oleh institusi bernama birokrasi tersebut. Walaupun persepsi ini mengandung titik-titik kelemahan yang dapat menyesatkan, namun sampai saat ini, pemerintah yang diwakili oleh institusi birokrasi tetap saja diakui sebagai motor penggerak pembangunan.

Menurut Bendix bahwa ‘birokrasi membahayakan kebebasan demokrasi’, akan tetapi pada saat yang sama, birokrasi memainkan peran penting dalam sebuah masyarakat domokratis yang seharusnya tidak diabaikan. Dalam hal ini, Weber menekankan bahwa kebijakan-kebijakan pegawai birokrasi –pekerjaan yang didasarkan pada kualifikasi teknis- mengurangi hambatan-hambatan kelompok-kelompok yang tidak memenuhi dan tidak memiliki keistimewaan dalam persaingan. Misalnya, orang kulit hitam, mereka memiliki kesempatan yang lebih baik untuk dipekerjaan ketika kriteria-kriteria obyektif dan bukannya pertimbangan pribadi yang mengatur seleksi calon. Oleh karena itu, kesetaraan itu adalah prinsip demokrasi yang paling mendasar yang harus dilakukan oleh birokrasi.

(1) The Diagnosis of Bureaucracy

Pemaknaan terhadap birokrasi sebagai organ pelayanan bagi masyarakat luas, tentu merupakan pemaknaan yang idealis. Bahkan tidak dapat disalahkan jika Max Weber memandang birokrasi sebagai organisasi yang ‘rasional’, suatu mekanisme sosial yang memaksimumkan efisiensi dan juga sebagai suatu bentuk organisasi sosial yang memiliki ciri-ciri khas. Namun, diakui atau tidak, pemaknaan yang ideal terhadap fungsi pelayanan yang diperankan birokrasi, tidaklah sepenuhnya dapat menjelaskan orientasi birokrasi yang dapat berbuat banyak bagi kepentingan masyarakat.

Kehidupan birokrasi yang ditumpangi atau bahkan ‘didominasi oleh muatan-muatan politis’ oleh penguasa negara, jelas akan menjadikan tujuan birokrasi itu akan melenceng dari arah yang semula dikehendaki. Akibatnya, orientasi pelayanan publik yang semestinya dijalankan, menjadi bergeser ke arah orientasi yang sifatnya politis. Dalam kondisi yang demikian, maka birokrasi tidak lagi akrab dan ramah dengan kehidupan masyarakat, namun justru menjaga jarak dengan masyarakat sekelililngnya. Performance birokrasi yang kental dengan aspek-aspek politis inilah, yang pada gilirannya akan melahirkan stigma ‘politisasi birokrasi’.

Ada beberapa hal dasar yang menjadi sumber adanya ‘penyakit’ birokrasi, yaitu sebagai berikut :

a)      Pegawai pemerintah terlalu besar kekuasaannya sehingga perlu dikurangi dan dikembalikan pada fungsi yang sebenarnya;

b)      Pegawai pemerintah yang memang harus besar kekuasaannya, hanya boleh menggunakan kekuasaannya dengan sebijaksana mungkin;

c)      Penambahan kekuasaan harus dilakukan sejalan dengan metode bagaimana kekuasaaan itu harus diselenggarakan; dan

d)     Demokrsi itu terancam oleh adanya pegawai pemerintah yang pintar dan berkompeten yang menyalahgunakannya.

 

 

(2) The Remedies for Bureaucracy

Tujuan birokrasi tidak mungkin tercapai dalam masyarakat modern tanpa organisasi birokratis untuk menerapkannya. Jadi, begitu keputusan memberikan pelayanan secara bebas kepada masyarakat umum tercapai melalui proses-proses demokrasi, sebuah sistem administrasi yang kompleks harus dibangun dalam rangka mencapai tujuan ini.

Konsep birokrasi yang berbeda, maka cara penyembuhan atau memperbaikinya pun berbeda pula. Di mana salah satunya sebagai berikut :

a)      Mereka yang melihat tingkat keterlibatan atau kekuasaan pegawai pemerintah yang besar, maka jalan keluarnya melalui mekanisme kontrol yang bersifat formal; dan

b)      Mengurangi penyimpangannya melalui memperbesar kontrol lembaga perwakilan kepada gerakan kekuasaan yang lebih besar kepada pegawai pemerintah; dan

c)      Mmengurangi dengan memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat.

B. CRITICAL REVIEW

B.1 Birokrasi dan Kapitalisme

Meskipun dalam buku ini Martin Albrow secara tidak tegas menyebut sebagai pembawa aliran ‘birokrasi kapitalis’, namun dengan mengedapankan konsep birokrasi modern (teoritisi modernisasi), maka secara tidak langsung Weber’s telah menggoreskan tintanya yang membayangkan birokrasi modern sebuah transformasi linier menuju satu titik ideal, yaitu masyarakat politik demokratis dan tatanan ekonomi kapitalistik.1 Modernisasi sebagai penggerak sejarah yang akan mengubah kekuasaan patrimonial –yang otoriter secara politik dan paternalistik secara kultural- menjadi kekuasaan legal-rasional yang dikendalikan oleh sebuah ‘mesin birokrasi modern’. Karenanya birokrasi dipahami sebagai mesin teknis administratif yang dibutuhkan untuk menangani kompleksitas masyarakat modern akibat modernisasi.

Memang birokrasi adalah kebutuhan masyarakat di mana pun, dan semakin kompleks sejalan dengan arus modernisasi. Namun, kaum Weberian mengintroduksi konsep birokasi secara tidak netral. di mana sebelumnya memandang birokrasi haruslah apolitis, rasional, netral, dan mengutamakan kualifikasi teknis, spesialisasi, deferensiasi, koordinasi, efisiensi, efektivitas, dan sebagainya.2 Berbagai kepustakaan pada umumnya memberikan rekomendasi sepihak, yang banyak bermanfaat bagi negara dan pemilik modal daripada masyarakat.

B.2 Implementasi Teori Birokrasi

Konsep birokrasi modern dalam buku ‘bureaucracy’ Martin Albrow ini relatif sangat cocok untuk dunia kehidupan birokrasi negara-negara berkembang. Konsep Bureaucratic – Polity yang pertama kali dikemukakan oleh Fred Riggs dalam melihat kehidupan birokrasi di Thailand, yang kemudian oleh Harould Crouch untuk melihat kasus birokrasi di Indonesia membenarkan kondisi itu.

Paling tidak mengandung tiga ciri utama, yaitu :

1)      Lembaga politik yang dominan adalah birokrasi;

2)      Lembaga-lembaga politik lainnya, seperti parlemen, partai politik, dan kelompok-kelompok kepentingan berada dalam keadaan lemah, sehingga tidak mampu mengimbangi atau mengontrol kekuatan birokrasi; dan

3)      Massa di luar birokrasi secara politik dan ekonomis adalah pasif, yang sebagian adalah merupakan kelemahan partai politik dan secara timbal balik menguatkan birokrasi. 3

Analisis ini menjelaskan kepada kita, bahwa kepentingan penguasa negara yang diwakilkan lewat institusi birokrasi mengalami penguatan bukan hanya karena ketidakberdayaan masyarakat dalam mengontrol birokrasi sendiri, namun juga karena ketidakmampuan birokrasi sendiri untuk melepaskan diri dari cengkeraman penguasa negara. Jadi, meskipun politisasi birokrasi bukanlah semata-mata identik dengan upaya untuk mempolitiskan birokrasi, ia juga sarat dengan usaha menciptakan masyarakat yang buta akan politik dan birokrasi itu sendiri. Kebutaan warga masyarakat terhadap tingkah laku birokrasi, jelas teramat rentan bagi tidak sampainya misi pelayanan yang diemban oleh birokrasi.

 

C. KESIMPULAN

C.1 Esensi Teori Birokrasi

  • Dilihat dari sudut metode pemerintahan;
  • Dilihat dari sudut pegawai pemerintahan

C.2 Ciri Konsep Birokrasi Modern

  • bureaucracy as rational organization;
  • bureaucracy as the organizational inefficiency;
  • bureaucracy as rule by official;
  • bureaucracy as public administration;
  • bureaucracy as administration by officials;
  • bureaucracy as the organization;
  • bureaucracy as modern society.

C.3 Sumbangan bagi Perkembangan Teori Organisasi

  • Dikenalkannya sejarah dan tokoh teori birokrasi;
  • Lebih terdiskripsikannya teori birokrasi;
  • Masih terbukanya mendefinisikan teori birokrasi dari sudut pandang yang berbeda.

 

DAFTAR PUSTAKA

Albrow, Martin, Bureaucracy, Pall Maal Press Ltd, London: 1970.

Eko, Sutoro, Birokrasi, Modernisasi, dan Kapitalisme, Majalah PRISMA, No. 8 Tahun XXV Agustus 1996, Pustaka LP3ES, Jakarta.

Blau, Peter M. and Meyer, Marshall W., Bureaucracy in Modern Society, Alih Bahasa Slamet Rijanto, Prestasi Pustakaraya, Jakarta: 2000.

Tjokrowinoto, Moeljarto et. al., Birokrasi dalam Polemik, Saiful Arif (Ed), Cetakan Kedua, Pustaka Pelajar Bekerjasama dengan Pusat Studi Kewilayahan Universitas Muhammadiyah Malang, Yogyakarta: 2004.

PENYELESAIAN KASUS PENCURIAN RINGAN DENGAN MENGGUNAKAN ATERNATIF DISPUTE RESOLUTION (MEDIASI PENAL)

A. Latar Belakang

Hukum yang kita kenal saat ini sebagai hukum perundang-undangan yang positif baik pada tataran nasional maupun pada tingkat daerah adalah sesungguhnya merupakan produk yang dihasilkan para pembuatnya di badan-badan legislatif untuk dapat memfungsikan hukum di tengah  kehidupan yang sedang berubah. Hukum perundang-undangan yang kita kenal saat ini adalah sesungguhnya juga hasil reformasi, rekonseptualisasi dan restrukturisasi untuk merespon kebutuhan bangsa dan Negara yang bertumbuh kembang sebagai Negara demokratis yang mendambakan kepastian hak bagi warga Negara.

Hukum perundang-undangan memastikan mana kebebasan warga Negara yang dibenarkan dan diakui menurut hukum sebagai hak asasi dan mana yang tidak dibenarkan sebagai kebebasan. Disisi lain hukum perundang-undangan juga memastikan kekuasaan para penguasa yang boleh dibenarkan menurut hukum sebagai kewenangan mereka yang duduk sebagai pejabat pemerintah. Menurut paradigma konstitusionalisme hukum perundang-undangan harus dapat difungsikan sebagai penjamin kebebasan dan hak dengan cara menegaskan dengan jelas batas-batas kekuasaan yang apabila batas tersebut dipatuhi maka akan membilangkan kekuasaan sebagai kewenangan, namun apabila batas tersebut dilanggar maka akan membilangkan kekuasaan itu sebagai kesewenang-wenangan, dan apabila hal ini terjadi maka rakyat kecil yang akan menjadi korban dari penerapan hukum yang salah. Apabila rakyat kecil sudah menjadi korban dari penerapan hukum yang salah, maka hanya uluran tangan dari orang-orang yang pedulilah untuk memberikan bantuan hukum.

Apakah sebenarnya orang miskin memiliki kebutuhan hukum ? ataukah hanya keinginan untuk kepentingan hidup jangka pendek, sehingga untuk kebutuhan jangka panjang harus ditentukan oleh orang-orang yang tidak miskin dan yang mampu berfikir hebat?. Maka dapat dikatakan bahwa orang miskin hanya mengetahui keinginan karena mereka akan selalu menyatakan apa yang mereka inginkan, dan berkaitan dengan kebutuhan orang miskin termasuk kebutuhan hukum, tentunya  hanya akan bisa diberikan oleh mereka yang profesional tentunya adalah oleh pemerintah, bangsa dan Negara.

Orang-orang miskin yang harus bergelut dengan kesulitan hidup dari hari kehari hanya menginginkan pangan, sandang dan papan. Semua itu diinginkan agar mereka dapat  bertahan hidup, untuk memperoleh martabat yang layak sebagai manusia. Selain itu sesungguhnya mereka juga menginginkan tidak sekedar untuk menegakkan hidup yang sesaat, namun juga keinginan untuk mendapatkan jaminan pekerjaan yang layak, pendidikan, dan jaminan hak-hak untuk tidak ada diskriminasi dalam kehidupan ekonomi dan sosial.

Maka sangat tepat apabila dikatakan bahwa demi terjaminnya kepentingan memenuhi kebutuhan jangka panjang maka  kebutuhan orang miskin akan hak-hak sosial ekonomi dapat dijamin. Jaminan hukum  ini tentunya tidak cukup hanya terwujud dalam bentuk kalimat-kalimat normatif sebagaimana dituliskan dalam perundang-undangan saja, jaminan ini harus terwujud dalam realsasinya sehingga dengan serta merta akan membuktikan adanya reformasi hukum (legal reform). Reformasi hukum ini tidak hanya berhenti pada proses dilegislatif saja melainkan juga pada tahap pelaksanaannya. Hal tersebut akan tampak dalam wujud keterpihakan para eksekutif dan para pejabat yudisial kepada para kaum miskin atau kaum  duafa pada saat mereka harus mengambil keputusan-keputusan hukum.

Kalau kita mengamati beberapa kasus di media massa tentang praktek peradilan, masih banyak ditemukan adanya penegakan hukum yang tidak berpihak pada kaum miskin sehingga pada muaranya menimbulkan persepsi bahwa praktek penegakan hukum yang dilakukan para aparat penegak hukum sama sekali tidak mempertimbangkan aspek kemanusiaan. Keterpihakan terhadap kaum miskin yang hanya menginginkan untuk bertahan hidup dari aparat penegak hukum pada saat mengambil keputusan hukum sama sekali tidak terlihat.

Hukum diciptakan dengan tujuan untuk mensejahterakan rakyatnya dengan aturan – aturan didalamnya yang harus dipatuhi oleh setiap warga Negara, hal ini akan menyalahi konstitusionalismenya apabila hukum tersebut bersifat represif dimana hukum akan berhakikat sebagai instrument-instrumen legal dengan sanksi-sanksi yang memaksa meskipun mempunyai rujukan yang formal dari pasal-pasal konstitusi akan tetapi tetap saja tidak bisa melindungi kepentingan kaum miskin untuk sekedar bertahan hidup.

Salah satu contoh bukti bahwa aparat dalam praktek hukum masih belum memihak kaum miskin dapat kita lihat kasus Ny Minah (55) warga Desa Darma kradenan Kecamatan Ajibarang Banyumas Jawa Tengah  adalah Nenek pencuri tiga biji bibit kakao di perkebunan PT Rumpun Sari Antan. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto, menjatuhkan vonis satu bulan 15 hari dengan masa percobaan 30 hari. Dirinya dijerat pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang pencurian dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara. Putusan Majelis dalam menjatuhkan putusan lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntutnya dengan hukuman penjara enam bulan penjara.

Majelis Hakim menjatuhkan hukuman pidana kepada terdakwa hukuman penjara selama 15 hari dengan masa percobaan 30 hari. Meski dalam amar putusannya hakim majelis menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencurian. Namun hakim berpendapat bahwa perkara  pencurian yang dilakukan oleh Ny Minah ini karena terdorong oleh kemiskinan. Hal tersebut merupakan gejala yang tidak diberdayakannya masyarakat setempat disekitar PR RSA IV sehingga menimbulkan ketimpangan dan kecemburuan sosial.

Fenomena kasus Minah ini menarik perhatian masyarakat, karena menyentuh inti kemanusiaan, melukai keadilan rakyat. Seharusnya perkara ini tidak perlu dimejahijaukan karena cukup dilakukan dengan musyawarah. Lagi pula tiga biji benih kakao untuk ditanam kembali tidak sampai merugikan PT RSA. Apalagi Minah telah lanjut usia, terdakwa merupakan petani kakao yang tidak punya apa-apa. Tiga butir buah kakao sangat berarti bagi petani untuk dijadikan bibit dan bagi perusahaan jumlah tersebut tak berarti.

Contoh lain adalah Kasus pencurian satu buah semangka  oleh 2 warga Kelurahan Bujel, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri, atas nama Basar dan Kholil yang didakwa melakukan tindak pidana pencurian sebuah semangka milik tetangganya. Saat tertangkap semangka curian belum sempat dimakan, proses hukum tetap dilanjutkan dan keduanya dijerat Pasal 362 KUHP dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara.

Kasus ini tidak hanya mendapatkan kecaman dari masyarakat, Kejaksaan Negeri Kediri turut bersuara dengan menganggap kesalahan terdapat pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan meminta dilakukannya revisi.

Meski tindak pidana yang dilakukan Basar dan Kholil secara materil dan formil telah memenuhi unsur pencurian dengan melangagar Pasal 362 KUHP. Meski begitu penyelesaiannya semestinya  dapat  dilakukan  di tingkat kepolisian. Dengan  mempertimbangkan bobot perkara yang dianggap sangat rendah dan didukung dengan barang bukti yang sangat sepele, semestinya penyelesaian dapat dilakukan atas dasar kemanusiaan.

Kasus ini dilanjut sampai pengadilan karena kejaksaan tidak mungkin menolak limpahan berkas dari kepolisian. Apalagi tindak pidananya memang sudah memenuhi unsur pelanggaran Pasal 362 KUHP. Untuk tindak pidana yang dilakukan Basar dan Kholil dianggap sangat sepele karena nilai barang curian yang terlalu kecil.

Pasal terkait pencurian dalam KUHP, dijelaskannya pula hanya mengatur 2 kategori, yaitu pencurian ringan dan biasa. Kasus  Basar dan Kholil dikategorikan tindak pidana pencurian biasa karena kerugian korban di atas Rp 250.

Terus bermunculannya kasus semacam itu saat ini tak lepas dengan kondisi sejumlah pasal dalam KUHP yang  sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Terakhir kali KUHP  direvisi pada 1960. Wajar kalau banyak orang menentang kasus Basar dan Kholil dilanjutkan, karena memang nilai ekonomis kerugian akibat pencurian yang dilakukannya sangat tidak sesuai dengan kondisi saat ini.

Kekhawatiran munculnya kasus serupa dengan Basar dan Kholil memang sangat terbuka, mengingat hukum Indonesia masih menganut paham legalitas. Aparat penegak hukum akan menjerat pelaku pidana dengan pasal yang masih dianggap sah, tanpa memandang aspek kemanusiaan yang ada.

Kasus pencurian terhadap barang-barang yang tidak berharga atau tindak pencurian ringan hendaknya dapat diselesaikan secara kekeluargaan dengan rasa kemanusiaan dengan berlandaskan hukum adat, hal tersebut senada dengan yang dikatakan Menteri Hukum dan Ham Patrialis Akbar :

Agar kasus pencurian terhadap barang-barang yang tidak berharga atau tindak pencurian ringan jangan dilaporkan ke penyidik hukum, tapi selesaikan secara kekeluargaan dengan rasa kemanusiaan dengan berlandaskan hukum adat, kadang mereka melakukan pencurian hanya terpaksa, seperti membiayai pengobatan keluarga yang sakit atau juga untuk biaya makan, hukuman memang bermaksud memberi efek jera bagi pelaku tetapi bagi pelaku pencuri ringan tidak harus berlama-lama di penjara. (Tempo Interaktif 03 Mei 2010).

Rasa kemanusiaan harus diberikan kepada pelaku pencurian seperti itu, mereka kadang terpaksa melakukan itu karena kondisi kemiskinan yang dialami. Kadang mereka melakukan pencurian hanya terpaksa, seperti membiayai  keluarga  atau juga untuk biaya makan dalam usaha mempertahankan hidup.

Memang  benar KUHP hanya mengatur tindak pidana pencurian dalam dua kategori, yakni pencurian ringan dan pencurian biasa. Pencurian biasa adalah nilai kerugiannya di atas Rp 250,-. Sedang pencurian ringan di bawah Rp 250,-,  nilai kerugiannya  tersebut  sudah tercantum secara tegas dalam KUHP dan tidak dapat diganggu gugat. Namun  nilai ekonomis dalam kerugian pencurian saat itu sudah tidak sesuai dengan kondisi kekinian. KUHP kita terakhir direvisi tahun 1960.

Ini semua merupakan sebuah dilema yang sulit untuk dicarikan jalan keluarnya. Disatu sisi pencurian adalah perbuatan pidana yang menimbulkan korban dan Negara sudah menentukan bahwa pelakunya dapat dikenakan pidana, namun disisi lain mereka kaum miskin yang melakukan terdorong oleh keinginan sekedar untuk menyambung hidup untuk hari esok. Kenyataan ini menuntut  untuk ditemukan sebuah cara yang melindungi kedua belah pihak, korban akan merasa nyaman untuk kedepannya dan pelaku juga merasa  dilindungi oleh rasa kemanusiaan.

Untuk itu polisi sebagai aparat penegak hukum juga hendaknya bersikap bijak terhadap segala kasus yang dilaporkan oleh warga. Apabila sekiranya kasus itu bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan mengapa polisi tidak menyarankan hal itu. Untuk menghindari jatuhnya korban pemidanaan seperti yang menimpa Basar dan Kholil serta kasus minah, maka perlu dilakukannya mediasi di tingkat kepolisian. Hal itu akan cukup membantu para pelaku kejahatan yang terjerat tindak pidana kecil.

Lembaga resmi yang disediakan oleh Negara dalam menyelesaikan segala sesuatu yang berkaitan dengan sengketa perdata dan pidana adalah Pengadilan, sedangkan yang disediakan oleh lembaga swasta adalah Arbitrase. Penyelesaian sengketa di luar lembaga peradilan  sering disebut juga dengan “Alternatif Dispute Resolution (ADR) atau dalam istilah Indonesia diterjemahkan menjadi Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)”.

Dalam kasus pencurian ringan sebagaimana tercantum dalam pasal 364 KUHP dan pasal 362 KUHP, dengan melihat kondisi sosial ekonomi tersangka yang tergolong orang miskin, hendaknya kepolisian dapat mengambil kebijakan penyelesaian kasus tersebut melalui jalan alternatif penyelesian sengketa atau  Alternatif Dispute Resolution dengan tehnik mediasi.

Mediasi memang  digunakan dalam menyelesaikan kasus perdata dan tidak pernah digunakan dalam kasus pidana. Payung hukum untuk mediasi dalam kasus perdata adalah Peraturan Mahkamah Agung RI  No 02 Tahun 2003 tentang prosedur mediasi di pengadilan.

Pencurian adalah pidana murni, apabila banyak kasus pencurian ringan yang diselesaikan melalui mediasi tentunya akan banyak kasus pencurian yang dilaporkan kepada kepolisian tidak selesai secara hukum, sehingga hal ini  tentunya akan menambah jumlah tindak pidana ( crime total) yang terjadi, ini merupakan sebuah dampak dari penerapan mediasi yang perlu dipecahkan.

Untuk itu penelitian ini akan membahas dapatkah mediasi dipergunakan untuk menyelesaikan kasus pidana khususnya kasus pencurian ringan sebagaimana tersebut dalam pasal 364 KUHP dan pasal 362 KUHP dengan mempertimbangkan aspek sosial ekonomi tersangka yang tergolong kaum miskin.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian diatas maka dapat ditarik rumusan permasalahannya sebagai berikut :

  1. Bagaimana kebijakan penanganan kasus pencurian ringan oleh Penyidik Polri melalui mediasi penal ?
  2. Bagaimana formulasi kebijakan penanganan kasus pencurian ringan  melalui mediasi penal untuk yang akan dating?
  3. Bagaimana strategi agar penyelesaian kasus pencurian ringan melalui mediasi penal merupakan penyelesaian perkara ( crime clearance) ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui kebijakan criminal penanganan pencurian ringan sebagaimana tercantum dalam pasal 364 KUHP dan pasal 362 KUHP dengan mempertimbangkan sosial ekonomi tersangka.

2. Untuk mengetahui kebijakan formulasi dalam menangani pencurian ringan melalui mediasi penal.

3. Untuk mengetahui strategi penyelesaian kasus pencurian ringan melalui mediasi penal agar menjadi penyelesaian perkara (crime clearance).

 

D. Tinjauan Pustaka

1. Pencurian Ringan

Sesuai dengan KUHP pasal 362  disebutkan bahwa yang dimaksud pencurian adalah  “Barang siapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan melawan hak, dihukum karena pencurian dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900,-“.  Bunyi pasal tersebut adalah rumusan dasar dari pada pencurian.

Sedangkan yang dimaksud pencurian ringan adalah perbuatan yang diterangkan menurut pasal 362 KUHP, jika barang yang dicuri itu tidak lebih dari 250 rupiah, selain itu  pencurian ringan juga diterangkan dalam pasal 363 ayat 4 tentang pencurian yang dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih dan yang diterangkan dalam pasa 363 ayat 5 tentang pencurian yang dilakukan oleh tersangka dengan masuk ketempat kejadian dengan cara membongkar, merusak atau dengan menggunakan kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu sepanjang barang yang dicuri nilainya kurang dari Rp 250,-  maka dikategorikan sebagai pencurian ringan.

Awaludin Hendra (2010) nilai Rp 250,-  dasar hukumnya adalah PERPU 16/1960, Pasal I (dg huruf Romawi) bunyinya:
”Kata-kata vijfen twintie gulden dalam pasal-pasal 364, 373 379, 384 dan 407 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana diubah menjadi, dua ratus lima puluh rupiah”.

Namun meskipun barang yang dicuri nilainya kurang dari Rp 250,- apabila dilakukan diluar ketentuan yang tersebut diatas maka tidak dapat di kategorikan sebagai pencurian ringan. Sebagai contoh adalah pencurian hewan ( pasal 363 ayat 1), pencurian pada saat bencana dan kebakaran ( pasal 363 ayat 2), pencurian pada malam hari ( pasal 363 ayat 3) dan pencurian dengan kekerasan ( pasal 365).

Fenomena yang menjadi pertanyaan adalah apakah nilai Rp 250,- tersebut masih relevan untuk diterapkan pada saat ini, KUHP tersebut terakhir direvisi pada tahun 1960 dimana harga barang-barang masih relative murah, sedangkan saat ini kondisi harga barang sudah jauh lebih mahal.

Jika mau diterapkan, jumlah Rp. 250 tersebut terlalu ringan dibandingkan nilai uang pada waktu sekarang. Untuk mengetahui jumlah Rp. 250 di tahun 1960 nilainya sama dengan berapa rupiah di tahun ini harus dilakukan perbandingan nilai.  Menurut Awaludin  Hendra (2010)  parameter untuk mengetahui nilai uang Rp. 250,- di tahun 1960 dengan tahun sekarang maka parameter yang harus kita pakai adalah mata uang juga tapi mata uang yang tidak ditandatangani oleh gubernur BI yaitu emas, nilai Rp. 250,- tahun 1960 adalah sama dengan 10 gram emas, dan harga emas per gramnya sekarang adalah sekira Rp. 350.000,- sehingga bila kita menggunakan patokan harga emas maka seharusnya yg menjadi patokan nilai kerugian adalah 10 gram emas sekarang yaitu sekira Rp. 3.500.000,-

Parameter ini tidak serta merta akan bisa dijadikan ukuran untuk menilai  suatu kasus pencurian tergolong sebagai pencurian ringan atau bukan, karena nilai uang Rp 3.500.000,- untuk saat ini sudah tergolong besar.

2. Alternatif Dispute Resolution ( mediasi Penal).

Mediasi penal (penal mediation) menurut Barda Nawawi Arief (2008) sering juga disebut dengan berbagai istilah, antara lain : “mediation in criminal cases” atau ”mediation in penal matters” yang dalam istilah Belanda disebut strafbemiddeling, dalam istilah Jerman disebut ”Der Außergerichtliche Tatausgleich” (disingkat  ATA) dan dalam istilah Perancis disebut ”de mediation pénale”. Karena mediasi penal terutama mempertemukan antara pelaku tindak pidana dengan korban, maka mediasi penal ini sering juga dikenal dengan istilah ”Victim Offender Mediation” (VOM), Täter Opfer Ausgleich (TOA), atau Offender victim Arrangement (OVA).

Dijelaskan lagi oleh Barda Nawawi Arief (2008) bahwa Mediasi penal merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan (yang biasa dikenal dengan istilah ADR atau ”Alternatif Dispute Resolution”; ada pula yang menyebutnya “Apropriate Dispute Resolution”  ADR pada umumnya digunakan di lingkungan kasus-kasus perdata, tidak untuk kasus-kasus pidana, hal ini bias dilihat di  UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini (hukum positif) pada prinsipnya kasus pidana tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan, walaupun dalam hal-hal tertentu, dimungkinkan adanya penyelesaian kasus pidana di luar pengadilan.

Alternatif Dispute Resolution apabila dalam bahasa Indonesia disebut Alternatif Penyelesaian Sengketa ( APS). APS sebetulnya telah lama digunakan masyarakat tradisional di Indonesia dalam rangka menyelesaikan sengketa di antara mereka. Mereka lazimnya menempuh musyawarah untuk mufakat dalam berbagai sengketa. Mereka tidak menyadari bahwa sebetulnya musyawarah untuk mufakat adalah embrio dari APS. APS tradisional dianggap sangat efektif dan merupakan suatu kesalahan jika sengketa itu dibuka ditengah masyarakat. Dalam banyak sengketa, orang lebih suka mengusahakan suatu dialog (musyawarah), dan biasanya minta pihak ke tiga, kepala desa atau suku, untuk bertindak sebagai mediator (perantara), konsiliator, atau malahan sebagai arbiter. Metode APS tradisional biasanya dapat mencarikan suatu keputusan yang dianggap adil dan dapat diterima oleh semua pihak yang terlibat dalam sengketa

Pada perkembangannya alternatif penyelesaian sengketa tersebut tidak hanya dipakai untuk menyelesaikan masalah perdata, namun juga sering dipakai untuk menyelesaikan perkara pidana. Aparat penegak hukum dapat menggunakan diskresinya sebagai mediator dalam penyelesaiannya. Kelemahan dari penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan ini adalah tidak ada landasan hukum formalnya, sehingga sebuah kasus yang sudah selesai secara musyawarah dengan mediator aparat penegak hukum maka apabila terjadi pergantian pejabat penegak hukum maka kasus tersebut bisa diproses kembali.

Ada beberapa ide yang melatar belakangi wacana penggunaan mediasi dalam masalah pidana. Menurut Barda Nawawi dalam Laely Wulandari (2008), ide latar belakang tersebut adalah : pertama latar belakang pembaharuan hukum ( legal reform) antara lain ide perlindungan korban, ide harmonisasi, ide restrotative justice, ide mengatasi kekakuan atau formalitas dalam system yang berlaku, ide menghindari efek negative dari system peradilan pidana dan system pemidanaan yang ada saat ini, khususnya dalam mencari alternative lain dari pidana penjara  (alternative to imprisonment/ alternative to custody). Latar belakang pragmatism antara lain untuk mengurangi stagnasi atau penumpukan perkara, untuk penyederhanaan proses peradilan dan sebagainya.

3. Kebijakan Kriminal

Selama ini kebijakan kriminal dipahami sebagai ranah Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang merupakan representasi dari negara. Selain itu, kebijakan kriminal juga lebih dipahami sebagai upaya penegakan hukum saja. Dengan semakin meningkat, rumit dan variatifnya masalah kejahatan, SPP tidak lagi dapat dijadikan satu-satunya stakeholder dalam kebijakan kriminal. Khususnya dalam upaya pencegahan kejahatan. Lembaga-lembaga negara yang difungsikan untuk melakukan pencegahan kejahatan harus melakukan  kolaborasi yang terlembagakan dengan masyarakat sipil dan kalangan swasta.

Menurut Barda Nawawi Arief yang diedit oleh Laely Wulandari, apabila dalam kebijakan penanggulangan kejahatan digunakan upaya atau sarana hukum pidana (penal), maka kebijakan hukum pidana harus diarahkan pada tujuan kebijakan social (social policy) yang terdiri dari kebijakan untuk melindungi masyarakat ( social defence policy). Jadi dapat disimpulkan bahwa semua kebijakan criminal harus selalu mengutamakan kesejahteraan masyarakat.

Lebih lanjut lagi dijelaskan oleh Laely bahwa kebijakan hukum pidana operasionalisasinya melalui beberapa tahap yaitu tahap formulasi (kebijakan legislative), tahap aplikasi ( kebijakan yudikatif) dan tahap eksekusi ( kebijakan eksekutif atau administratif). Dari ketiga tahap tersebut yang terpenting adalah tahap formulasi, tahap ini sangat strategis untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan. Dalam tahap ini legislative dapat   melakukan kebijakan-kebijakan yang dapat dilaksanakan dengan baik pada tahap aplikasi dan eksekusi.

E. Metode Penelitian

Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan type penelitian kualitatif. Spesifikasi penelitian ini bersifat eksploratif maksudnya ialah bahwa penelitian berfungsi untuk menemukan sesuatu yang belum ada, dengan demikian penelitian mengisi kekosongan atau kekurangan ilmu pengetahuan (Rianto Adi, 2005:3).  Penelitian ini akan menggunakan jenis study kasus terhadap beberapa kasus pencurian ringan yang ditangani dibeberapa wilayah Polda Jawa Tengah.

Menurut Ronny Hanitijo (1994 : 11) bahwa penelitian hukum normatif merupakan penelitian inventarisasi hukum positif, assa-asas hukum, dan taraf sinkronisasi vertical dan horizontal. Sedangkan menurut Soemitro dalam Rianto Adi (2005) penelitian hukum biasanya hanya merupakan studi dokumen yakni menggunakan sumber-sumber data sekunder saja yang berupa peraturan-peraturan, perundang-undangan, keputusan-keputusan pengadilan, teori-teori hukum, dan pendapat para sarjana hukum terkemuka.  Dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai pemaparan dan pengkajian aspek hukum dengan aspek non hukum dalam bekerjanya hukum.

Sumber  data

Dalam penelitian hukum normatif ini semua data yang dikumpulkan adalah data yang sudah matang atau sekunder. Data sekunder dikelompokkan menjadi tiga : bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat,  bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang akan menjelaskan bahan hukum primer yang berupa dokumen dan perundang-undangan, bahan hukum tersier yang akan memberikan penjelasa lebih mendalam.

Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di jajaran Polda Jateng.

Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode mengumpulkan, mengkaji dan mengolah secara sistematis bahan-bahan kepustakaan serta dokumen-dokumen yang berkaitan.

Metode Analisis Data

Penelitian ini merupakan suatu usaha untuk menemukan hukum incrocreto yang sesuai untuk diterapkan guna penyelesaian perkara tertentu, sehingga data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif dengan alur pikir induksi konseptualisasi. Induksi konseptualisasi dimaksudkan sebagai pendekatan peneliti yang bertolak dari data untuk membangun konsep analisis dan teori (Ronny Hanitijo, 1994 :90).

F. Rencana Kerja dan Biaya

Untuk mencapai tujuan penelitian maka studi ini akan melakukan hal-hal sebagai berikut :

  1. Mengumpulkan beberapa kasus pencurian atau pencurian ringan yang telah ditangani oleh penyidik Polri dan menganalisa baik yang diselesaikan ditingkat kepolisian maupun yang sampai di pengadilan hingga mendapatkan vonis hakim.
  2. Menentukan kriteria  pencurian untuk mengidentifikasi pencurian ringan dan pencurian yang dilakukan oleh kaum miskin.
  3. Meneliti masalah-masalah yang timbul berkaitan dengan proses penyidikan kasus pencurian ringan tersebut baik bagi tersangka, korban , masyarakat sekitar maupun di penyidik Polri.
  4. Mengembangkan prosedur dan pilihan yang mungkin untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut.
  5. Menganalisis praktek penyelesaian kasus pencurian dengan mediasi penal yang sesuai.

Untuk mencapai hasil yang maksimal dari kegiatan tersebut diatas maka penelitian akan dibagi beberapa tahap, yang mana setiap tahap kegiatan akan dilaksanakan dalam kurun waktu 3 bulan atau 1 triwulan. Setelah semua kegiatan tersebut selesai akan dilakukan penulisan laporan penelitian yang membutuhkan waktu 3 bulan dan dilanjutkan dengan seminar hasil penelitian.

Dalam penelitian ini pembiayaannya berasal dari peneliti dengan memanfaatkan kerja sama dengan para pimpinan Polri di kesatuan wilayah.

DAFTAR PUSTAKA

Adi, Rianto, 2005, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta, Granit.

Faisal, Sanafiah, 1990, Penelitian Kualitatif Dasar-dasar dan Aplikasi, Malang , Yayasan Asih Asuh .

Hanitijo Sumitro, Ronny, 1994, Metode Penelitian dan Yurimetri, Jakarta, Ghalia Indonesia.

Soesilo, R, 1989, KUHP Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, PT Karya Nusantara, Bandung.

Wulandari, Laely, 2008, Kebijakan Penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Melalui Mediasi Penal, Jurnal Law Reform Pembaharuan Hukum, Undip, Semarang

UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Peraturan Mahkamah Agung RI  No 02 Tahun 2003 tentang prosedur mediasi di pengadilan.

Tempo Interaktif 03 Mei 2010

Hendra, Awaludin, 2010, www.awaludinhendra.blogspot.com, diakses tanggal 25 oktober 2010.

Barda Nawawi Arief, 2008, www.bardanawawi.file.wordpress.com. Diakses tanggal 26 oktober 2010.

Teori dan reformasi administrasi publik

1.  Pertanyaan : Reformasi Administrasi di Asia dapat dikategorikan dalam 4 kelompok. Jelaskan 4 kelompok tersebut melalui indikator : a. warisan tradisi administrasi.b. lingkungan ekonomi politik.c. peran dan kemampuan pemerintah.d. hal-hal yang menonjol dalam reformasi yang dilakukan.e. sumber kekuatan perubahan.f. tingkat keberhasilan.

Jawaban :

Kelompok negara-negara Reformasi di Asia  (sumber: eko prasojo, 7 sept 2010, 10.00) dan ( abdullah, 7 sept 2010, 10.15) :

1. Jepang dan Asia Timur “NICs”

a.  Warisan tradisi administrasi : Kuat, tradisi birokrat terpusat; penyatuan politik-administrasi (Singapura dan Hong Kong adalah tipe negara administratif)

b.  Lingkungan ekonomi politik : Pembangunan negara–model “pasar terpimpin” (dengan pengecualian pada Hong Kong, dengan menampilkan model semi-Intervensi).

c.  Peran dan kemampuan Pemerintah : Kapasitas yang kuat secara historis; sangat intervensionis (tidak banyak di Hong Kong)

    d.  Hal-hal yang menonjol dalam reformasi yang dilakukan : Modernisasi birokrasi dan perbaikan diri, peningkatan kapasitas negara

    e.  Sumber kekuatan perubahan : komitmen pimpinan, adanya kesamaan tujuan dari waktu ke waktu, adanya komitmen komisi reformasi administrasi, adanya pemahaman bahwa reformasi administrasi adalah tulang punggung kemajuan bangsa.

    f.  Tingkat keberhasilan : reformasi administrasi selalu menjadi agenda politik utama ditandai dengan pemangkasan kementerian, departemen dan lembaga pemerintah lainnya dan terbentuknya negara industri.

    2. Negara berkembang Asia Tenggara

      a.  Warisan tradisi administrasi : Kebanyakan rezim bekas jajahan (dan beberapa diantaranya juga paska-militer), dengan negara birokrasi kuat yang mempunyai hubungan kuat dengan bisnis.

      b.  Lingkungan ekonomi politik : Model “Pemerintah dalam Bisnis” dengan hubungan Pemerintah-Bisnis yang sangat institusional.

      c.  Peran dan kemampuan Pemerintah : Secara luas negara sangat bergantung pada campur tangan rezim atas ekonomi dan kapasitas masyarakat

        d.  Hal-hal yang menonjol dalam reformasi yang dilakukan : Modernisasi Birokrasi dan peningkatan efisiensi

        e.  Sumber kekuatan perubahan : budaya dan etika birokrasi serta masyarakat mampu dijadikan kekhasan reformasi administrasi

        f.  Tingkat keberhasilan : reformasi administrasi dengan tetap memperhatikan hak-hak masyarakat.

        3. Negara Transisi Sosialis

            a.  Warisan tradisi administrasi : Pemerintahan birokrasi otoriter satu partai komunis, politik dalam pemerintahan ( negara dan birokrasi adalah satu)

            b.  Lingkungan ekonomi politik : Dari negara yang direncanakan ke negara dominasi ekonomi dan pembangunan

            c.  Peran dan kemampuan Pemerintah : Kapasitas negara dalam pertanyaan sebagai transit menuju ekonomi pasar

              d.  Hal-hal yang menonjol dalam reformasi yang dilakukan : Modernisasi birokrasi dengan membangun kerasionalan, dalam konteks konsolidasi rezim dan rekonfigurasi kelembagaan.

              e.  Sumber kekuatan perubahan : komitmen pimpinan, pembentukan lembaga khusus dengan kewenangan yang besar seperti administrative reform commission, presidential administrative renovation commission, reformasi administrasi diputuskan secara politik oleh presiden bersama parlemen serta diikuti secara cepat dengan implementasi kebijakannya sehingga bisa dikatakan bahwa reformasi administrasi tidak hanya sekedar retrorika politik.

              f.  Tingkat keberhasilan : mampu membersihkan jabatan birokrasi dari campur tangan politik, mampu mensterilkan BUMN dari investasi partai komunis, pemerintah lebih responsif dalam pembangunan ekonomi sehingga terbentuknya negara industri.

                4. Negara-negara Benua

                a.  Warisan tradisi administrasi : Rezim paska penjajahan, dengan relatif cukup kuat, tradisi birokrasi terpusat ( di India, pelayanan sipil dilindungi secara konstitusional).

                b.  Lingkungan ekonomi politik : Penanganan kebijakan negara ” perintah kapitalis” di India

                c.  Peran dan kemampuan Pemerintah : Kapasitas negara dalam pertanyaan karena politik dan penyimpangan birokrasi

                  d.  Hal-hal yang menonjol dalam reformasi yang dilakukan : Kontrol politik dan birokrasi modernisasi

                  e.  Sumber kekuatan perubahan : adanya birokrasi modern

                  f.  Tingkat keberhasilan : ekonomi ditentukan oleh pasar, reformasi berjalan agak lambat karena adanya campur tangan politik dan birokrasi sehingga perijinan agak ribet dan birokrat banyak yang korup.

                    2. Pertanyaan : menurut pendapat saudara dari 4 kelompok reformasi administrasi di Asia tersebut, Indonesia masuk dalam kategori yang mana. Jelaskan pendapat saudara melalui 6 indikator diatas.

                    Jawaban :

                    Negara Indonesia termasuk dalam kategori Reformasi Administrasi Negara-negara Berkembang Asia Tenggara (sumber : mahmudi, 7 sept 2010, 08.30), dengan indikasi :

                    a.  Warisan tradisi administrasi : sebagai Negara bekas jajahan Belanda, Indonesia masih menganut nilai-nilai peninggalan rezim Belanda. Terjadi perubahan yang menggebu atau turbulent, harapan masyarakat yang terlalu muluk-muluk yang tidak dijumpai dalam masyarakat maju.

                      b.  Lingkungan ekonomi politik : Model “Pemerintah dalam Bisnis” masih sangat kental di Indonesia dengan bukti masih adanya BUMN atau BUMD yang menguasai perekonomian hajat hidup masyarakat.

                      c. Peran dan kemampuan Pemerintah : Pemerintah memiliki pemahaman bahwa pembangunan adalah tugas pemerintah, sehingga campur tangan pemerintah dalam ekonomi dan kapasitas masyarakat masih sangat luas. Misal : kebijkan pemerintah dalam bidang energi dan gas.

                        d.  Hal-hal yang menonjol dalam reformasi yang dilakukan : adanya pemangkasan departemen di era Gusdur, privatisasi era Megawati dan Pasar bebas di era SBY.

                        e.  Sumber kekuatan perubahan : budaya toleransi dan jumlah penduduk merupakan potensi yang mampu menggerakkan reformasi administrasi apabila diberdayakan.

                        f.  Tingkat keberhasilan : masih lambat dengan bukti kemiskinan masih tinggi, angka pendidikan masyarakat masih rendah, dan pembangunan belum merata di seluruh wilayah tanah air.

                          3. Pertanyaan : Bagaimanakah gambaran umum Birokrasi di Bangladesh dan mengapa gagal melakukan reformasi secara berkelanjutan.

                          Jawaban :

                          Gambaran umum Birokrasi di Bangladesh

                          Bangladesh muncul sebagai negara merdeka pada tahun 1971 setelah perang berdarah dengan Pakistan Barat. Setelah kemerdekaan, mengadopsi bentuk pemerintahan parlementer dengan perdana menteri sebagai kepala pemerintah dan presiden sebagai kepala negara. Menghadapi krisis ekonomi, sosial, dan politik pemerintah, melalui amandemen konstitusi, mendirikan negara satu partai dengan presiden di puncak kekuasaan negara (Ahmed 1980). Uji coba berumur pendek, ketika pemerintah dilemparkan dengan keras oleh sekelompok perwira militer pada bulan Agustus 1975. Dari Agustus 1975 sampai November 1991 militer dan rezim quasi-militer menguasai negara tersebut. Pemerintah militer Jenderal Irsyad digulingkan oleh peningkatan popularitas pada bulan Desember 1991. Sekali lagi, melalui amandemen konstitusi pada tahun 1991, Bangladesh kembali ke bentuk pemerintahan parlementer (Sarker 1991).

                          Berbagai jenis rezim telah menguasai negara tersebut dalam tiga dekade terakhir. Pemerintah politik pertama hanya berkuasa selama tiga setengah tahun. Rezim Militer, dalam berbagai bentuk, sedang berkuasa dari pertengahan tahun 1975 hingga 1990. Sejak tahun 1991, mengakui rezim demokratis, yang dipilih melalui pemilihan tidak memihak, telah berkuasa. Upaya-upaya telah dilakukan selama masa semua rezim untuk mereorganisasi sistem administrasi. Semua upaya telah dilakukan, Namun, sebagian besar gagal untuk membuat sistem administrasi menjadi bertanggung jawab, transparan, dan efisien.

                          Bangladesh memiliki dua sistem administrasi. Semua kementerian dan divisi berada di sekretariat pusat, dan mereka dipercayakan dengan kebijakan dan fungsi  rumah kliring. Menurut statistik terbaru, ada 35 kementerian dan 52 departemen (GoB 2000, 25). Di sisi lain, organisasi mewakili pemerintah pusat departemen, divisi dan departemen di tingkat divisi, kabupaten, thana (kecamatan), dan serikat pekerja di tingkat debit administrasi umum, penyediaan layanan, dan fungsi pelaksanaan proyek pembangunan. Dengan 6 divisi administratif, 64 kabupaten dan 498 thanas, kehadiran mereka dirasakan di seluruh Bangladesh. Menteri adalah kepala politik pelayanannya. Sekretaris adalah kepala administrasi, dibantu oleh sekretaris bersama, sekretaris deputi, sekretaris asisten senior, dan sekretaris asisten. Ada juga 178 departemen yang bertanggung jawab atas pelaksanaan program pembangunan pemerintah. Ada juga badan otonom dan perusahaan (dikenal sebagai organisasi hukum) yang telah didirikan di bawah perintah khusus presiden, peraturan, dan tindakan. Karyawan organisasi-organisasi ini bukan pegawai negeri. Namun, banyak dari  jasa senior sipil yang diangkat ke posisi yang lebih tinggi dari organisasi-organisasi pada utusan dari layanan sipil. Semua kegiatan dari departemen, divisi, departemen dan organisasi afiliasi mereka ada di tiap divisi, kabupaten, dan dari tingkat yang dilakukan oleh layanan sipil.

                          Birokrasi di Bangladesh mengambil peranan sangat dominan. Perkembangan birokrasi melebihi lembaga-lembaga lain dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan tidak adanya pembangunan politik sebagai akibat gejolak politik dan keadaan yang tidak stabil Negara Bangladesh sejak pasca kemerdekaan.

                          Dengan peranan yang dominan inilah laju reformasi di Bangladesh ditentukan oleh kapasitas dan komitmen dari birokrasi. Sesuai dengan pendapat bahwa :

                          Di Bangladesh, reformasi administrasi telah goyah karena kurangnya apresiasi dan dukungan oleh pegawai negeri sipil yang bertanggung jawab untuk menerapkan reformasi yang akan berdampak pada mereka (Bank Dunia 1996; Khan 1991; Khan dan Zafarullah 1982).

                          Kegagalan reformasi secara berkelanjutan di Bangladesh

                          Dalam tiga puluh tahun terakhir, pemerintah berturut-turut tidak menunjukkan komitmen mereka untuk reformasi administrasi. ketidakmampuan pemerintah merupakan faktor penting. Ketidakmampuan ini lebih diperburuk oleh sifat clientelist politik Bangladesh. Program yang masih dalam proses reformasi digagalkan oleh tidak adanya fundamental dalam sistem administrasi Bangladesh, tidak adanya blue print atau cetak biru yang dipakai untuk pedoman dalam reformasi administrasi dari tahun ketahun dalam jangka panjang, kurangnya tatanan demokrasi, adanya perselisihan antar faksi di sektor publik, politisasi administrasi, dan korupsi di sektor publik.

                          Pemimpin politik di bangladesh tidak memiliki visi yang jelas dan jangka panjang, sebuah kesiapan untuk menyelidiki dan secara eksplisit mengidentifikasi faktor-faktor yang mendorong perilaku dalam merancang insentif untuk mendorong sikap proaktif dalam mengimplementasikan reformasi administrasi.

                          Negara Bangladesh telah mengupayakan secara struktural melalui komite/komisi/kelompok belajar, namun dalam kehidupan nyata rekomendasi ini belum mampu merubah keadaan yang ada.

                          Selain yang tersebut diatas, berikut beberapa penyebab kegagalan reformasi di Bangladesh :

                          a. Kurangnya Komitmen Politik

                            Komitmen kepemimpinan politik merupakan pendorong pelaksanaan upaya reformasi administrasi. Di Bangladesh, pengalaman dari tiga dekade terakhir menunjukkan bahwa kepemimpinan politik tidak pernah serius dalam upayanya untuk memperbaiki sistem administrasi (Khan 1998, 173).

                            b. Kapasitas Terbatas Pemerintah

                              Lemahnya kapasitas negara merupakan faktor penting yang menghambat pelaksanaan reformasi administrasi (Wallis dan Dollery 2001; Polidano 2001; McCourt 2002; Sozen dan Shaw 2002). Reformasi Administrasi membutuhkan upaya-upaya terpadu dari pemerintah yang berkuasa. Kecuali bisa menunjukkan kapasitas, agenda reformasi yang terikat gagal untuk memberikan hasil yang diinginkan. Sekarang adalah sebuah fakta bahwa pemerintahan berturut-turut di Bangladesh telah gagal secara menyedihkan untuk menunjukkan kapasitas ini. Sejumlah faktor bisa dilihat telah menahan kapasitas pemerintah berturut-turut untuk mendorong melalui inisiatif reformasi.

                              c. Resistensi birokrasi

                                Masalah reformasi administrasi yang komprehensif harus dilihat dalam konteks peran dan pengaruh birokrasi publik. Di Bangladesh, reformasi administrasi telah goyah karena kurangnya apresiasi dan dukungan oleh pegawai negeri sipil yang bertanggung jawab untuk menerapkan reformasi yang akan berdampak pada mereka (Bank Dunia 1996; Khan 1991; Khan dan Zafarullah 1982).

                                d. Korupsi

                                  Korupsi dalam administrasi adalah masalah serius di dunia berkembang (Quah 1998; Khan 1999). Meskipun korupsi merupakan salah satu daerah yang diidentifikasi oleh komisi yang berbeda, komite, dan kelompok-kelompok studi seperti membutuhkan intervensi reformasi, mungkin dianggap sebagai faktor yang menghambat program reformasi. Administrasi Bangladesh telah dilanda oleh administrasi politik dan korupsi administratif. Korupsi adalah sebuah fenomena lama. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, sudah mencapai puncaknya (Sobhan 1993; Khan 1999).

                                  e. Faksionalisme di Sektor Publik

                                    Alih-alih melaksanakan program reformasi berbasis luas, pemerintah berturut-turut telah tertarik untuk berselisih dengan faksi yang ada dalam birokrasi publik, dalam menjaga status quo, dan dalam membangun basis dukungan mereka sendiri. Faksionalisme mendalam memiliki banyak dimensi: persaingan antara generalis dan spesialis, rampasan sistem pendatang versus merekrut melalui ujian yang kompetitif, kebebasan versus pejuang pejuang non-kebebasan, liga pro Awami versus pro-Partai Nasionalis pegawai negeri sipil Bangladesh, pegawai sipil dengan latar belakang militer versus pegawai negeri sipil dengan dasar sipil, dan faksionalisme berdasarkan afiliasi kabupaten (Siddiqui 1996,  18-19).

                                    f. Politisasi Administrasi

                                      Ada juga tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya dari politisasi administrasi. Sementara fenomena ini umum di hampir semua negara, hal itu telah menjadi buruk di Bangladesh dan ramifikasinya merugikan dasar-dasar administrasi. Pada dasarnya ada dua aspek politisasi. Satu aspek yang berkaitan dengan politisasi sistem pelayanan di loyalitas berdasarkan perhubungan clientelist mendapatkan preferensi dalam sistem. Aspek lain yang berkaitan dengan bagaimana pelayan publik dipolitisir untuk kepentingan partai kecil atau sebagian kelompok (Zafarullah dan Khan 2001; Khan 1998; Siddiqui 1996).

                                      g. Peran Lembaga Donor Internasional

                                        Sebagai negara yang bergantung pada bantuan, Bangladesh selalu tetap rentan terhadap tekanan dari lembaga donor internasional dalam merumuskan dan merumuskan agenda reformasi. Seperti salah satu sarjana Bangladesh amati dua dekade yang lalu, “kebijakan Bangladesh harus menunggu setelah keputusan di Washington, London, Tokyo, Bonn dan Paris sebelum mereka menyusun anggaran tahunan pembangunan mereka, mengumumkan kebijakan impor, merumuskan kebijakan makanan, atau bahkan memutuskan berapa banyak anak-anak harus dilahirkan.

                                        4. Pertanyaan : apakah tren reformasi yang berkembang di Negara-negara asia Tenggara dan apakah dampak yang timbul dari masing-masing tren tersebut.

                                        Jawaban :

                                        Tren reformasi yang berkembang di Negara-negara Asia Tenggara dilihat dari sudut pandang (sumber shamsul haque, 7 sept 2010, 11.30) :

                                        a. Konsep teoritis

                                          Model awalnya : model Planned Development

                                          Karakteristiknya : administrasi terpusat pada Negara dengan agenda intervensi negara yang kuat.

                                          Istilah yang sering muncul : pembangunan bangsa, swasembada, kebutuhan dasar, kemakmuran masyarakat.

                                          Tren yang berlaku : model ekonomi neoklasikal dan teori public choice.

                                          Karakteristiknya : peranan sektor public dan pengembangan sektor swasta melalui system new public management.

                                          Istilah yang sering digunakan : joint  venture, partnership, kualitas pelayanan, kepuasan pelanggan.

                                          Dampak : terlalu mengitimasi manajemen sektor privat, hak-hak masyarakat miskin terpinggirkan.

                                          b. Structural fungsional

                                            Model awalnya : model demokrasi liberal

                                            Karakteristiknya : netralitas politik pegawai negeri, pemisahan antara kepentingan publik dan privat, mekanisme control internal/eksternal akan akuntabilitas birokratik, peranan pemerintah dan administrasi public sebagai pemimpin aktivitas sosioekonomis.

                                            Tren yang berlaku : otonomi operasional atau structural.

                                            Karakteristik : otonomi managerial pada agensi public, peranan pemerintah dan administrasi public sebagai fasilitator atau pendukung bagi warga masyarakat, pasar sebagai factor yang paling berkuasa.

                                            Dampak : menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan public dan legitimasi dari institusi public.

                                            c. Normatif Etis

                                              Model awalnya : pola nilai-nilai demokrasi liberal.

                                              Karakteristiknya : netralitas, persamaan (equality), akuntabilitas, perwakilan, keadilan.

                                              Tren yang berlaku : pola etika pasar dan bisnis.

                                              Karakteristiknya : efisiensi, kompetisi, penghargaan terhadap uang, kewirausahaan dan partnership.

                                              Dampak : pelayanan public mengalami de-publikisasi.

                                              DISIPLIN KERJA DI POLRI

                                              BAB  I

                                              PENDAHULUAN

                                              A. Latar Belakang

                                              Menghadapi era globalisasi yang berlaku sejak tahun 2003 satu hal yang tidak dapat ditawar kembali yang dijadikan tolak ukur bahwa kualitas manusia dalam bekerja adalah hal prasyarat yang harus dipenuhi. Seleksi alam yang dijadikan sebagai salah satu parameter dalam menilai kinerja manusia pun semakin kukuh dalam artian bahwa tenaga kerja yang kurang terampil dan pengetahuan yang terbatas akan tersingkir dari pasar kerja.

                                              Manusia sebagai sumber daya yang paling berharga (intangible asset) dari suatu organisasi yang diartikan bahwa manusia merupakan sumber daya atau penggerak dari suatu organisasi. Dan roda organisasi sangatlah tergantung dari perilaku manusia yang bekerja di dalamnya. Hal ini dikarenakan manusia merupakan salah satu sumber daya terpenting dalam menentukan jalannya operasional organisasi. Manusia memiliki karakter yang sangat kompleks baik dari segi sifat maupun tingkah laku yang dibentuk di lingkungan maupun pengalaman. Pencapaian tujuan organisasi dapat tercapai apabila organisasi menerapkan manajemen yang baik.

                                              Tujuan organisasi dapat tercapai apabila organisasi menerapkan disiplin kerja yang baik. Jika disiplin kerja tidak diterapkan pada elemen organisasi maka akan menyebabkan terhambatnya kegiatan operasional organisasi. Sebagai contoh, dengan lalainya seorang anggota akan dapat berakibat pada menurunnya efektifitas kerja seseorang. Hal ini dapat terjadi dikarenakan dengan adanya pengabaian sikap disiplin kerja yang optimal. Oleh karena itu, disiplin kerja sebenarnya merupakan salah satu elemen yang paling penting untuk diterapkan dalam organisasi dalam pencapaian tujuan organisasi.

                                              Lalu, bagaimanakan kualitas tenaga kerja di lingkungan  Polri? Apabila dilihat dari struktur pendidikannya, posisi anggota kuranglah menguntungkan. Hal ini disebabkan oleh mayoritas anggota Polri adalah berpangkat bintara dengan latar belakang pendidikan SMA. Kualitas etos kerja dan disiplin kerja dari para anggota yang dipandang masih tergolong rendah oleh beberapa ahli. Dibandingkan dengan beberapa negara yang memiliki kualitas manusia yang menjadi andalan pesatnya kemajuan negara-negara seperti Korea Selatan, Taiwan, maupun Asia yang dijuluki sebagai macan Asia.

                                              Apabila kita mendengar dari beberapa media baik elektronik maupun cetak banyak yang memberitakan perilaku anggota Polri dilapangan dalam pelaksanaan tugasnya masih banyak ditemukan ketidakdisiplinan. Sikap tersebut tentunya akan sangat menghambat keberhasilan Polri dalam mewujudkan program-programnya dalam rangka melindungi mengayomi dan melayani masyarakat serta untuk penegakan hokum.

                                              Bagaimanakan Polri  agar memiliki disiplin yang tinggi dan tidak kalah dibandingkan dengan kualitas kepolisian  asing dalam rangka memasuki era globalisasi? Dimana setiap organisasi kepolisian pada umumnya menginginkan agar para anggota yang bekerja dapat mematuhi tata tertib atau peraturan yang telah ditetapkan. Dengan ditetapkannya peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis, diharapkan agar para anggota dapat melaksanakan sikap disiplin dalam bekerja sehingga produktivitasnya pun meningkat.

                                              Disiplin dalam bekerja sangatlah penting sebab dengan kedisiplinan tersebut diharapkan sebagian besar peraturan ditaati oleh para anggota, bekerja sesuai dengan prosedur dan sebagainya sehingga pekerjaan terselesaikan secara efektif dan efesien serta dapat meningkatkan produktivitasnya. Oleh karena itu bila anggota tidak menggunakan aturan-aturan yang ditetapkan dalam perusahaan, maka tindakan disiplin merupkan langkah terakhir yang bisa diambil terhadap seorang anggota yang performansi kerjanya dibawah standar.

                                              B. Permasalahan

                                              1. Agar tujuan organisasi Polri dapat tercapai dengan baik tentunya di perlukan sebuah disiplin kerja dari para anggotananya, sehingga perlu diketahui jenis-jenis disiplin serta pendekatan disiplin di organisasi Polri.
                                              2. Agar para anggota Polri dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku maka diperlukan tindakan-tindakan disiplin, oleh sebab itu perlu di ketahui jenis tindakan disiplin   dan penyelesaiannya di Polri.

                                               

                                              BAB II

                                              KERANGKA TEORI

                                              A. Disiplin Kerja

                                              Disiplin kerja dapat didefinisikan sebagai suatu sikap menghormati, menghargai, patuh dan taat terhadap peraturan-peraturan yang berlaku, baik yang tertulis maupun tidak tertulis serta sanggup menjalankannya dan tidak mengelak untuk menerima sanksi-sanksinya apabila ia melanggar tugas dan wewenang yang diberikan kepadanya (Sastrohadiwiryo, 2001 : 291). Pendapat lain merumuskan bahwa disiplin kerja adalah kesadaran dan kesediaan seseorang menaati semua peraturan dan norma-norma sosial yang berlaku. Kesadaran adalah sikap seseorang yang secara sukarela menaati semua peraturan dan sadar akan tugas dan tanggung jawabnya, kesediaan adalah suatu sikap, tingkah laku, dan peraturan perusahaan, baik yang tertulis maupun tidak. (Hasibuan, 2002 : 193)

                                              Berdasarkan dua pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa disiplin kerja adalah sikap pada anggota untuk berperilaku sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan dimana dia bekerja.

                                              Menurut Handoko (1998:2008)  disiplin kerja dapat dibedakan menjadi 3 yaitu :

                                              1. Disiplin preventif
                                              2. Disiplin korektif
                                              3. Disiplin progresif

                                              Menurut  Mathis dkk (2002 :314) pendekatan – pendekatan dalam disiplin kerja ada dua yaitu : pendekatan disiplin positif dan pendekatan disiplin progresif.

                                              Sedangkan faktor yang mempengaruhi disiplin kerja diantaranya adalah ( Hasibuan, 2002:195) :

                                              1. Tujuan dan Kemampuan
                                              2. Kepemimpinan
                                              3. Balas jasa
                                              4. Keadilan
                                              5. Waskat
                                              6. Ketegasan
                                              7. Sanksi

                                              Sedangkan menurut Priyodarminto (1994 : 89) faktor yang dapat mempengaruhi disiplin adalah motivasi kerja, kepemimpinan, komunikasi, lingkungan kerja.

                                              B. Tindakan Disiplin

                                              Tindakan disiplin adalah pengurangan yang dipaksakan oleh pimpinan terhadap imbalan yang diberikan oleh organisasi karena adanya suatu kasus tertentu. Tindakan disiplin ini tidak termasuk pemberhentian sementara atau penurunan jumlah tenaga kerja yang disebabkan oleh kejadian-kejadian perilaku khusus dari anggota yang menyebabkan rendahnya produktivitas atau pelanggaran-pelanggaran aturan-aturan instansi.

                                              Tindakan disiplin ini dapat berupa teguran-teguran (reprimands), penskoran (suspension), penurunan pangkat atau gaji (reductions in rank or pay) dan pemecatan (firing). Tindakan disiplin ini tidak termasuk pemberhentian sementara atau penurunan jumlah tenaga kerja yang disebabkan oleh pengurangan anggaran atau kurangnya kerja. Tindakan-tindakan disipliner ini disebabkan oleh kejadian-kejadian perilaku khusus dari anggota yang menyebabkan rendahnya produktivitas atau pelanggaran-pelanggaran aturan-aturan instansi (Gomes, 2000 : 232)

                                              Pelaksanaan disiplin berangkat dari asumsi bahwa sejumlah permasalahan lainnya sudah diatasi, seperti mengenai rancangan pekerjaan (job design), seleksi, orientasi, penilaian, performansi, pelatihan dan kompensasi.

                                              Menurut Gomes (2000 : 242) tujuan tindakan disiplin adalah untuk melindungi organisasi dari para anggota yang tidak produktif. Prosedur-prosedur pengaduan disatu pihak dikembangkanuntuk melindungi paraanggota terhadap alokasi yang tidak adil dari sanksi-sanksi dan imbalan-imbalan dari organisasi.

                                               

                                              BAB III

                                              JENIS DAN PENDEKATAN DISIPLIN KERJA

                                              A. Jenis – jenis disiplin kerja

                                              Disiplin yang mantap pada hakekatnya akan tumbuh dan terpancar dari hasil kesadaran manusia. Disiplin yang tidak bersumber dari hati nurani manusia akan menghasilkan disiplin yang lemah dan tidak bertahan lama. Disiplin akan tumbuh dan dapat dibina melalui latihan, pendidikan atau penanaman kebiasaan dengan keteladanan-keteladanan tertentu, yang harus dimulai sejak ada dalam lingkungan keluarga, mulai pada masa kanak-kanak dan terus tumbuh berkembang dan menjadikannya bentuk disiplin yang semakin kuat

                                              Demikian juga di Polri bahwa disiplin harus selalu dipupuk dan dibina agar tumbuh dan berkembang menjadi sikap disiplin dalam setiap pelaksanaan tugas. Dalam hal ini disiplin kerja dapat dibedakan menjadi 3 yaitu :

                                              1.Disiplin Preventif

                                              Merupakan kegiatan yang dilakukan dengan maksud untuk mendorong para anggota agar secara sadar mentaati berbagai standart dan aturan, sehingga dapat dicegah berbagai penyelewengan atau pelanggaran Lebih utama dalam hal ini adalah dapat ditumbuhkan “Self Dicipline” pada setiap anggota tanpa kecuali. Manajemen kesatuan Polri mempunyai tanggung jawab untuk menciptakan suatu iklim disiplin preventif dimana berbagai standar diketahui dan dipahami. Untuk memungkinkan iklim yang penuh disiplin kerja tanpa paksaan tersebut perlu kiranya standart itu sendiri bagi setiap anggota, dengan demikian dapat dicegah kemungkinan-kemungkinan timbulnya pelanggaran-pelanggaran atau penyimpangan dari standart yang ditentukan.

                                              2.Disiplin Korektif

                                              Disiplin ini merupakan kegiatan yang diambil untuk menangani pelanggaran yang telah terjadi terhadap aturan-aturan dan mencoba untuk menghindari pelanggaran lebih lanjut. Kegiatan korektif ini dapat berupa suatu bentuk hukuman dan disebut tindakan pendisiplinan (disciplinary action).

                                              3.Disiplin Progresif

                                              Disiplin ini berarti memberikan hukuman-hukuman yang lebih berat terhadap pelanggaran-pelanggaran yang berulang. Tujuannya adalah memberikan kesempatan kepada anggota untuk mengambil tindakan korektif sebelum hukuman-hukuman yang lebih serius dilaksanakan. Disiplin progresif juga memungkinkan manajemen untuk membantu anggota memperbaiki kesalahan.

                                              Dalam organisasi Polri yang diinginkan adalah jenis disiplin preventif yang timbul dari diri sendiri atas dasar kerelaan dan kesadaran. Akan tetapi dalam kenyataan selalu mengatakan bahwa disiplin itu lebih banyak disebabkan adanya paksaan dari luar dan hak-hak anggota sudah menjadi alat pengenalan yang tepat kepada disiplin anggota, karena hak-hak anggota seringkali merupakan masalah dalam kasus-kasus disiplin anggota. Demikian juga dalam penelitian ini jenis-jenis disiplin kerja yang dikaji adalah disiplin preventif yang dilaksanakan untuk mendorong anggota agar mengikuti aturan yang telah ditetapkan.

                                               

                                              B.        Pendekatan Dalam Disiplin

                                              Sistem disiplin anggota dapat dipandang suatu penerapan modifikasi perilaku untuk anggota bermasalah atau anggota yang tidak produktif. Disiplin yang terbaik adalah jelas disiplin diri, karena sebagian besar orang memahami apa yang diharapkan dari dirinya di pekerjaan dan biasanya anggota diberi kepercayaan untuk menjalankan pekerjaannya secara efektif. Adapun pendekatan-pendekatan dalam disiplin kerja anggota  adalah :

                                              1.Pendekatan Disiplin Positif

                                              Pendekatan disiplin positif dibangun berdasarkan filosofi bahwa pelanggaran merupakan tindakan yang biasanya dapat dikoreksi secara konstruktif tanpa perlu hukuman. Dalam pendekatan ini fokusnya adalah pada penemuan fakta dan bimbingan untuk mendorong perilaku yang diharapkan, dan bukannya menggunakan hukuman (penalti) untuk mencegah perilaku yang tidak diharapkan.

                                              Kekuatan pendekatan positif ini dalam disiplin adalah fokusnya pada pemecahan masalah. Juga, karena anggota merupakan partisipan aktif selama proses tersebut, maka organisasi yang menggunakan pendekatan ini cenderung memenangkan tuntutan hukum jika anggota mengajukan tuntutan.

                                              2.Pendekatan Disiplin Progresif

                                              Disiplin progresif melembagakan sejumlah langkah dalam membentuk perilaku anggota. Kebanyakan prosedur disiplin progresif menggunakan peringatan lisan dan tulisan sebelum berlanjut ke PHK.

                                              Dengan demikian, disiplin progresif menekankan bahwa tindakan-tindakan dalam memodifikasi perilaku akan bertambah berat secara progresif (bertahap) jika anggota tetap menunujukkan perilaku yang tidak layak.

                                               

                                              C. Faktor-faktor yang mempengaruhi kedisiplinan

                                              Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kedisiplinan anggota suatu organisasi diantaranya :

                                              1.Tujuan dan Kemampuan

                                              Tujuan dan kemampuan ikut mempengaruhi tingkat kedisiplinan anggota. Tujuan yang akan dicapai harus jelas dan ditetapkan secara ideal serta cukup menantang bagi kemampuan anggota. Hal ini berarti bahwa tujuan (pekerjaan) yang dibebankan kepada anggota harus sesuai dengan kemampuan anggota yang bersangkutan, agar dia bekerja sungguh-sungguh dan disiplin dalam mengerjakannya.

                                              2.Kepemimpinan

                                              Kepemimpinan sangat berperan dalam menentukan kedisiplinan anggota Karena pimpinan dijadikan teladan dan panutan oleh para bawahannya. Pimpinan jangan mengharapkan kedisiplinan bawahannya baik jika dia sendiri kurang disiplin.

                                              3.Balas Jasa

                                              Balas jasa ( gaji dan kesejahteraan ) ikut mempengaruhi kedisiplinan anggota karena balas jasa akan memberikan kepuasan dan kecintaan anggota terhadap organisasi/ pekrjaannya. Jika kecintaan anggota semakin baik terhadap pekerjaan, kedisiplinan mereka akan semakin baik pula.

                                              4.Keadilan

                                              Keadilan ikut mendorong terwujudnya kedisiplinan anggota, karena ego dan sifat manusiia yang selalu merasa dirinya penting dan minta diperlakukan sama dengan manusia lainnya. Dengan keadilan yang baik akan menciptakan kedisiplinan yang baik pula. Jadi, keadilan harus diterapkan dengan baik pada setiap organisasi supaya kedisiplinan anggota organisasi baik pula.

                                              5.Waskat

                                              Waskat (pengawasan melekat ) adalah tindakan nyata dan paling efektif dalam mewujudkan kedisiplinan anggota Polri. Waskat efektif merangsang kedisiplinan dan moral kerja anggota. Anggota merasa mendapat perhatian, bimbingan, petunjuk, pengarahan, dan pengawasan dari atasannya.

                                              6.Ketegasan

                                              Ketegasan pimpinan dalam melakukan tindakan akan mempengaruhi kedisiplinan anggota Polri. Pimpinan harus berani dan tegas, bertindak untuk menghukum setiap anggota yang indisipliner sesua dengan sanksi hukuman yang telah ditetapkan. Ketegasan pimpinan menegur dan menghukum setiap anggota yang indisipliner akan mewujudkan kedisiplinan yang baik pada organisasi Polri tersebut.

                                              7.Sanksi

                                              Sanksi berperan penting dalam memelihara kedisiplinan anggota. Dengan sanksi hukuman yang semakin berat, anggota akan semakin takut melanggar peraturan-peraturan Polri, sikap, perilaku indisipliner anggota akn berkurang.

                                              8.Motivasi Kerja,

                                              Pentingnya kerja karena motivasi kerja adalah hal yang menyebabkan, menyalurkan dan mendukung perilaku manusia supaya mau bekerja giat dan antusias mencapai hasil yang optimal.

                                              9.Komunikasi

                                              Komunikasi merupakan kegiatan untuk saling memberi keterangan dan ide secara timbal balik, yang diperlukan dalam setiap usaha kerjasama manusia untuk mencapai tujuan tertentu.

                                              10.Lingkungan Kerja

                                              Dengan lingkungan kerja yang baik dan aman maka dapat meningkatkan produktivitas kerja anggota.

                                               

                                               

                                               

                                              BAB IV

                                              PELAKSANAAN TINDAKAN DISIPLIN DI POLRI

                                              A. Prinsip – prinsip dalam pendisiplinan

                                              Tujuan utama mengadakan sanksi disiplin kerja bagi anggota yang melanggar norma-norma organisasi adalah memperbaiki dan mendidik para anggota yang melakukan pelanggaran disiplin. Sanksi atas pelanggaran disiplin yang dijatuhkan haruslah setimpal dengan pelanggaran disiplin yang dilakukan sehingga secara adil dapat diterima.

                                              Banyak anggota yang mungkin tidak melaksanakan aturan-aturan keanggotaan, karena para anggota mungkin merasa bahwa mereka sedang tidak diperlakukan secara adil sesuai dengan kontribusi yang telah mereka berikan kepada organisasi, atau diperlakukan secara tidak adil atau tidak sama dengan anggota-anggota yang lain. Mereka bisa juga menggunakan sistem pengaduan yang ada untuk menggugat apa yang mereka anggap tindakan disiplin yang tidak adil yang dibuat oleh organisasi Polri.

                                              Untuk mengkondisikan anggota Polri agar bisa melaksanakan tindakan disiplin maka terdapat beberapa prinsip pendisiplinan  :

                                              1.Pendisiplinan dilakukan secara pribadi

                                              Pendisiplinan ini dilakukan dengan menghindari menegur kesalahan didepan orang banyak agar anggota yang bersangkutan tidak merasa malu dan sakit hati. Hal ini akan memalukan bawahan yang ditegur (meskipun mungkin memang benar bersalah) sehingga bisa menimbulkan rasa dendam.

                                              2.Pendisiplinan harus bersifat membangun

                                              Dalam pendisiplinan ini selain menunjukan kesalahan yang telah dilakukan oleh Anggota  haruslah diikuti dengan petunjuk cara pemecahannya yang bersifat membangun, sehingga anggota tidak merasa bingung dalam menghadapi kesalahan yang telah dilakukan dan dapat memperbaiki kesalahan tersebut.

                                              3.Pendisiplinan dilakukan secara langsung dengan segera

                                              Suatu tindakan dilakukan dengan segera setelah terbukti bahwa anggota telah melakukan kesalahan sehingga anggota dapat mengubah sikapnya secepat mungkin.

                                              4.Keadilan dalam pendisiplinan sangat diperlukan

                                              Dalam tindakan pendisiplinan dilakukan secra adil tanpa pilih kasih siapapun yang telah melakukan kesalahan harus mendapatkan tindakan disiplin secara adil tanpa membeda-bedakan.

                                              4.Pimpinan hendaknya tidak melakukan pendisiplinan sewaktu anggota absen.

                                              Pendisiplinan hendaknya dilakukan dihadapan anggota yang bersangkutan secara pribadi agar dia tahu telah melakukan kesalahan.

                                              5.Setelah pendisiplinan hendaknya wajar kembali

                                              Sikap wajar hendaklah dilakukan pemimpin terhadap anggota yang telah melakukan kesalahan tersebut, sehingga proses kerja dapat berjalan lancar kembali dan tidak kaku dalam bersikap.

                                              Salah satu syarat agar ditumbuhkan disiplin dalam lingkungan kerja adalah adanya pembagian pekerjaan yang tuntas sampai kepada anggota atau pekerjaan yang paling bawah, sehingga setiap orang tahu dengan sadar apa tugasnya, bagaimana melakukannya, kapan pekerjaan dimulai dan kapan diselesaikan, seperti apa hasil kerja yang disyaratkan dan kepada siapa ia mempertanggung jawabkan hasil pekerjaan itu.

                                              Disiplin harus dipelihara dalam lingkungan kerja. Salah satu bentuk pemeliharaan aturan adalah kedisiplinan dalam pelaksanaan secara tertib dan konsisten. Melalui disiplin yang tinggi pelaksanaan suatu aturan dapat mencapai maksud dan dapat dirasakan manfaatnya oleh semua pihak, dengan ketentuan bahwa aturan itu dibuat setelah mempertimbangkan asas keadilan dan kemanfaatan bagi kepentingan umum.

                                              Disiplin kerja dalam pelaksanaannnya harus senantiasa dipantau dan diawasi, disamping itu harusnya sudah menjadi perilaku yang baku bagi setiap pekerja dalam suatu organisasi.

                                              Dalam pendisiplinan kerja ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan :

                                              a)    Pembagian tugas dan pekerjaan telah dibuat lengkap dan dapat diketahui dengan sadar oleh para anggota.

                                              b)    Adanya petunjuk kerja yag singkat, sederhana dan lengkap.

                                              c)    Kesadaran setiap anggota terhadap suatu tugas atau pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya.

                                              d)    Perlakuan adil terhadap setiap penyimpangan oleh pimpinan.

                                              e)    Adanya keinsyafan para anggota bahwa akibat dari kecerobohan atau kelalaian dapat merugikan institusi Polri dan dirinya serta ada kemungkinan membahayakan orang lain.

                                              Penetapan tindakan disiplin dalam organisasi sangatlah penting, karena sistem tindakan disiplin dan prosedur-prosedur yang diperlukan untuk proteksi terhadap hak-hak prosedural dari anggota. Tindakan disiplin adalah langkah terakhir dalam mengawasi anggota karena tindakan disiplin itu menandakan adanya kegagalan untuk saling menyesuaikan dengan kontrak .

                                              Polri seharusnya menetapkan kebijaksanaan-kebijaksanaan keluhan (grievances) internal yang secara jelas menetapkan hak anggota untuk mengajukan keluhan secara tertulis mengenai praktek-praktek manajemen yang diduga keras tidak adil, dan prosedur-prosedur untuk memeriksa / mendengar (hearing) keluhan-keluhan itu di dalam instansi.

                                              Disiplin dapat secara positif dikaitkan dengan kinerja, dimana hal ini mengejutkan orang-orang yang beranggapan bahwa disiplin dapat merusak perilaku sehingga disiplin yang efektif sebaiknya diarahkan kepada perilakunya, karena alasan untuk pendisiplinan adalah untuk meningkatkan kinerja. Anggota bisa saja menolak tindakan disiplin yang tidak adil dari pimpinannya atau atasan yang berhak menghukum, namun tindakan yang diambil mempertahankan standar yang sudah ditetapkan bisa mendorong adanya norma kelompok dan menghasilkan peningkatan kinerja dan rasa keadilan.

                                              B. Pelaksanaan Tindakan  Disiplin

                                              Penyelesaian pelanggaran disiplin bertujuan untuk terwujudnya integritas disiplin dan tercapainya kepastian hukum dalam rangka pemeliharaan disiplin dan penegakkan hukum disiplin di lingkungan Polri. Penyelesaian pelanggaran disiplin bersifat tetap dan melekat pada atasan yang berhak menghukum (Ankum). Ankum berwenang memerintahkan Provos dan/ atau Pejabat yang ditunjuk untuk melakukan pemeriksaan pelanggaran disiplin oleh anggota Polri.

                                              Pemeriksaan perkara pelanggaran disiplin didasarkan atas laporan, tertangkap tangan, temuan oleh petugas.  Laporan sebagaimana dimaksud diatas disampaikan oleh setiap orang baik lisan maupun tertulis kepada petugas yang berwenang atas adanya pelanggaran disiplin. Laporan yang disampaikan, dituangkan dalam bentuk laporan Polisi yang dibuat oleh Provos. Tertangkap tangan dapat langsung diperiksa oleh Provos. Penindakan dan pemeriksaan terhadap pelaku yang tertangkap tangan, dapat dilakukan tanpa surat perintah. Temuan merupakan pelanggaran yang ditemukan oleh pejabat pengawasan fungsional maupun struktural. Hasil temuan selanjutnya diserahkan kepada Provos melalui Ankum untuk proses penyelesaiannya.

                                              Bentuk penyelesaian pelanggaran disiplin adalah pemberian sanksi disiplin berupa tindakan disiplin dan hukuman disiplin. Tindakan disiplin diberikan, kepada anggota Polri yang melakukan pelanggaran disiplin yang sedemikian ringan sifatnya, penjatuhan sanksi langsung dilaksanakan oleh Atasan tanpa melalui siding disiplin berupa teguran lisan dan tindakan fisik.  Sanksi tersebut bersifat pembinaan dan tidak bertentanan dengan peraturan perundang–undangan dan tindakan disiplin  tersebut tidak menghapus kewenangan Ankum untuk menjatuhkan hukuman  disiplin.

                                              Apabila petugas yang menjatuhkan sanksi disiplin kepangkatannya lebih rendah dari anggota Polri yang melakukan pelanggaran disiplin, maka petugas menyerahkan pelanggaran tersebut kepada Ankum pelanggar untuk dijatuhkan sanksi tindakan disiplin. Sebagai bukti adanya pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh anggota, maka petugas / atasan mengirimkan bukti pelanggaran (tilang) atau adanya pemberitahuan dari atasan yang melakukan pelanggaran anggota dimaksud kepada Ankum.

                                              Pelanggaran disiplin yang digolongkan sebagai pelanggaran yang sedemikian ringan sifatnya adalah :

                                              1. Tidak membawa surat kelengkapan data diri.
                                              2. Pelanggaran perilaku.
                                              3. Pelanggaran ketertiban penggunaan seragam Polisi, atribut dan kelengkapannya.
                                              4. Pelanggaran sikpa tampang / performance.
                                              5. Pelanggaran atas kelengkapan Ranmor.
                                              6. Pelanggaran atas penggunaan inventaris dinas.
                                              7. Lupa membawa surat izin senjata api inventaris dinas yang dipinjam pakaikan
                                              8. Ke luar kantor pada jam dinas tanpa izin pimpinan/ atasan.

                                              Pejabat yang berwenang menjatuhkan tindakan disiplin adalah : Atasan langsung, Atasan tidak langsung, Anggota Provos sesuai lingkup tugas dan kewenangannya. Tindakan disiplin yang berupa teguran lisan dan tindakan fisik dicatat dalam buku data personal perseorangan dan dilaporkan kepada Ankum serta Pejabat Personel dan Provos secara berjenjang.

                                              Hukuman disiplin dijatuhkan oleh Ankum dan/ atau Atasan Ankum kepada anggota Polri yang melanggar disiplin melalui sidang disiplin. Hukuman disiplin sebagaimana dimaksud berupa :

                                              1. Teguran tertulis ;
                                              2. Penundaan mengikuti pendidikan paling lama 1 (satu) tahun ;
                                              3. Penundaan kenaikan gaji berkala ;
                                              4. Penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 (satu) tahun ;
                                              5. Mutasi yang bersifat demosi ;
                                              6. Pembebasan dari jabatan ;
                                              7. Penempatan dalam tempat khusus paling lama 21 (dua puluh satu) hari.

                                              Ankum penuh dan Atasan Ankum berwenang menjatuhkan hukuman sebagaimana dimaksud diatas. Ankum terbatas berwenang menjatuhkan hukuman Teguran tertulis dan Penundaan mengikuti pendidikan paling lama 1 (satu) tahun. Ankum sangat terbatas berwenang menjatuhkan hukuman teguran tertulis. Ankum terbatas dan ankum sangat terbatas  dapat melaksanakan sidang disiplin atas perintah Ankum penuh.

                                              Penyelesaian perkara pelanggaran disiplin dilaksanakan melalui tahapan :

                                              1. Penerimaan laporan ;
                                              2. Pemeriksaan ;
                                              3. Pemeriksaan dalam sidang disiplin;
                                              4. Penjatuhan hukuman ;
                                              5. Pelaksanaan hukuman ;
                                              6. Pencatatan hukuman ;
                                              7. Pencatatan dalam Data Personel Perseorangan.

                                               

                                              Penentuan penyelesaian pelanggaran dapat melakukan sidang disiplin merupakan kewenangan Ankum. Selambat–lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah menerima berkas perkara pelanggaran dari Provos, Ankum harus menyelengarakan sidang disiplin. Untuk menyelenggarakan sidang disiplin Ankum menetapkan perangkat sidang dan waktu pelaksanaan sidang.  Susunan Keanggotaan dan Perangkat Sidang serta tata cara sidang disiplin dilaksanakan berdasarkan Keputusan Kapolri tentang Sidang Disiplin Bagi Anggota Polri.

                                              Penjatuhan hukuman disiplin diputuskan dalam sidang disiplin. Setelah mendengarkan, dan / atau memperhatikan Keterangan, Saksi, Terperiksa, Saksi Ahli, Pendamping Terperiksa serta barang bukti, Ankum menjatuhkan putusan hukuman disiplin. Putusan hukuman yang dijatuhkan oleh Ankum tidak menghapus tuntutan pidana atas pelanggaran pidana yang dilakukan oleh Terhukum.

                                              Tata cara pelaksanaan hukuman disiplin di lingkungan Polri dilakukan sebagai berikut :

                                              1. Hukuman disiplin berupa teguran tertulis dicantumkan dalam surat keputusan hukuman disiplin yang aslinya diberikan kepada terukum dan tembusannya diberikan kepada Pejabat Personel, Provos dan Atasan Ankum.
                                              2. Hukuman disiplin berupa  Penundaan mengikuti pendidikan paling lama 1 (satu) tahun, Penundaan kenaikan gaji berkala, Penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 (satu) tahun, dicantumkan dalam Surat Keputusan Hukuman disiplin dengan menyebutkan waktu penundaan yang jelas dan tidak melebihi masa 1 (satu) tahun, yang aslinya diberikan kepada Terhukum, dan tembusannya diberikan kepada Pejabat Personel, Provoso dan Atasan Hukum.
                                              3. Putusan sidang disiplin sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, harus sudah ditindaklanjuti dengan surat keputusan oleh pejabat yang berwenang selambat–lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari yang tembusan surat keputusannya disampaikan kepada Ankum.
                                              4. Hukuman disiplin berupa Mutasi yang bersifat demosi, Pembebasan dari jabatan,  dicantumkan dalam surat keputusan hukuman disiplin yang aslinya diberikan kepada Terhukum, dan tembusannya diberikan kepada Pejabat Personel, Provos dan Atasan Ankum.
                                              5. Putusan sidang disiplin berupa penempatan dalam tempat khusus paling lama 21 (dua puluh satu) hari  pelaksanaannya diserahkan kepada Provos.

                                              Berakhirnya masa hukuman disiplin yang dilaksanakan Terhukum sesuai masa hukuman yang tercantum dalam surat keputusan hukuman disiplin. Selambat–lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya masa hukuman untuk hukuman disiplin berupa Penundaan mengikuti pendidikan paling lama 1 (satu) tahun, Penundaan kenaikan gaji berkala, Penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 (satu) tahun, maka anggota yang telah selesai menjalani hukuman tersebut harus dikembalikan pada keadaan semula.

                                              Waktu pelaksanaan pengawasan terhadap anggota Polri semasa menjalani hukuman  disiplin dan selesai menjalani hukuman disiplin, untuk jangka waktu 6 (enam)  bulan dilakukan oleh Ankum yang pelaksanaan sehari–hari ditugaskan kepada anggota Provos guna memberikan rekomendasi penilaian dalam rangka pembinaan karier selanjutnya. Rekomendasi penilaian tersebut diberikan dalam bentuk surat rekomendasi penilaian dari Provos.

                                              Setiap penjatuhan tindakan disiplin maupun hukuman disiplin dilakukan pencatatan dalam Buku Pencatatan Data Personel Perseorangan yang selanjutnya dijadikan masukan bagi pengisian Riwayat Hidup Personel Perseorangan (RHPP). Pencatatan penjatuhan hukuman dilaksanakan oleh fungsi Personel, Provos, Paminal dan Ankum Pelanggar. Buku Pencatatan Data Personel Perseorangan berisi :

                                              a.  Identitas Pelanggar ;

                                              b.  Waktu dan Tempat Pelanggaran ;

                                              c.Jenis Pelanggaran ;

                                              d.  Jenis Hukuman ;

                                              e.  Nomor Putusan Hukuman ;

                                              f.Batas waktu pelaksanaan hukuman.

                                               

                                              BAB V

                                              PENUTUP

                                              Dalam institusi Polri akan ditemui adanya 2 unsur yang merupakan peranan penting yaitu pimpinan dan bawahan. Disemua organisasi pasti kita akan melihat unsur tersebut, kedua unsur tersebut saling berkaitan satu sama lain. Seorang pemimpin perlu mempunyai macam-macam pengetahuan dan kepandaian yang dapat mendorong atau menggerakan orang-orang yang dipimpinnya untuk melakukan suatu perbuatan dan tindakan yang dikehendaki. Hubungan antara pemimpin dan bawaan merupakan hubungan yang bersifat timbal balik dan terbuka.

                                              Para atasan yang berhak menghukum (ankum) yang mengadministrasikan pendisiplinan haruslah mempertimbangkan efek tindakan disiplin yang diambil ankum  lain dan tindakan disiplin lainnya yang diambil di masa lalu. Disiplin yang konsisten membantu menetapkan batasan dan menginformasikan kepada para anggota mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dikerjakan. Disiplin yang inkosisten dapat menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian.

                                              Disiplin yang efektif mengharuskan adanya penyimpanan data tertulis yang akurat dan pemberitahuan tertulis kepada anggota. Dalam sejumlah kasus, tidak adanya pemberitahuan tertulis telah digunakan untuk mendukung argumentasi anggota bahwa dia “tidak tahu apa-apa”

                                              Disiplin yang efektif harus langsung. Makin lama waktu yang terentang antara pelanggaran dan tindakan disiplin, maka makin kurang efektiflah tindakan disipli tersebut.

                                               

                                              DAFTAR PUSTAKA

                                               

                                              Gomes, Faustino C. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia. Andi Offset :Yogyakarta

                                              Hani, Handoko T. 1998. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. BPFE : Yogyakarta

                                              Hasibuan, Malayu. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bumi Aksara :Jakarta

                                              Heidjrachman dan Suad Husnan. 1990. Manajemen Personalia. BPFE Yogyakarta.

                                              Mathis, Robert L dan Jackson, John H. 2002. Manajemen Sumber Daya

                                              Manusia. Salemba Empat : Jakarta

                                              Prijodarminto, Soegeng. 1994. Disiplin Kiat Menuju Sukses. Pradnya Paramita :Jakarta

                                              Sastrohadiwiryo, Siswanto. 2001. Manajemen Tenaga Kerja Indonesia. Bumi Aksara : Jakarta

                                              Keputusan Kapolri  No. Pol. : Kep / 43 / IX / 2004 Tentang  Tata cara penyelesaian pelanggaran disiplin anggota Polri

                                               

                                              KETERKAITAN HUKUM PIDANA INTERNASIONAL DALAM PENEGAKAN HUKUM TRANSNASIONAL CRIME

                                               

                                               

                                              A.  PENDAHULUAN

                                               

                                              Masalah kejahatan yang berbentuk kejahatan trans-nasional (trans- national crime) seperti perdagangan gelap (illlicit trade), perdagangan obat terlarang (illicit drug), perdagangan manusia (human trafficking), terorisme, dan penyelundupan manusia (people smuggling) merupakan ancaman serius bagi negara seperti kita. Posisi geografis Indonesia yang strategis dan merupakan negara kepulauan yang memiliki wilayah sangat luas semakin menambah suburnya pertumbuhan jenis-jenis kejahatan lintas batas tersebut. Karena itu, sebagai negara asal maupun transit bagi operasi tindak kejahatan trans-nasional maka Indonesia dituntut untuk terus meningkatkan upaya-upaya dalam menekan kejahatan lintas batas tersebut melalui suatu format kerjasama dengan negara-negara tetangga secara komprehensif. Tantangan utama yang dihadapi dalam memberikan respon cepat terhadap jenis kejahatan seperti ini adalah bagaimana membuat perjanjian ekstradisi dengan beberapa negara kunci baik secara bilateral maupun multilateral dan mengembangkan kerjasama teknis dalam pemberantasan terorisme, bajak laut, pencucian uang, cyber crime, penyelundupan dan perdagangan manusia dan senjata serta lalu lintas obat-obat terlarang (illicit drug/drug trafficking).

                                              Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan peradaban dunia menyebabkan terjadinya kejahatan baru yang bersifat kompleks dengan skala lintas negara/trans-nasional. Perkembangan teknologi informasi dan peradaban manusia secara sosiologis dapat dikatakan sebagai “crime  is the shadow of civilization[1]. Masih lemahnya penjagaan wilayah perbatasan dan pintu-pintu masuk Indonesia seperti pelabuhan laut dan udara, serta masih terbatasnya kerjasama internasional pada penanganan kejahatan trans-nasional menjadikan Indonesia sebagai ladang subur bagi tumbuhnya kejahatan tersebut.

                                               Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, pada Pasal 15 ayat (2) huruf h dinyatakan : “Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan Perundang-undangan lainnya berwenang : melakukan kerjasama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan Internasional”. Dalam Penjelasan Pasal 15 ayat (2) huruf h dinyatakan : “Yang dimaksud dengan ‘kejahatan Internasional’ adalah kejahatan tertentu yang disepakati untuk dltanggulangi antar negara, antara lain kejahatan narkotika, uang palsu, terorisme, dan perdagangan manusia”. Dengan demikian relevansinya Polri harus mengambil langkah–langkah yang menjadi sasaran pokok yang akan dicapai dalam upaya meningkatkan keamanan, ketertiban, dan penanggulangan kriminalitas khususnya pada kejahatan trans-nasional.

                                              Kejahatan terorisme yang berawal pada peledakan bom Di Kedutaan Besar Philipina pada akhir tahun 2000, Bom Bali dan beberapa ledakan bom ditempat lainya menambah daftar panjang serangan terorisme Di Indonesia. Permasalahan yang dihadapi dalam penegakan hukum terhadap terorisme adalah dengan adanya jaringan terorisme yang bersifat internasional, sehingga terdapat pelaku, otak pelaku ataupun pendukung dana yang merupakan warga negara asing dan berada diluar yuridiksi Indonesia. Oleh karena itu diperlukan kajian yang mendalam mengenai penanganan kejahatan trans-nasional khususnya terorisme dalam kaidah hukum pidana internasional.

                                               

                                               

                                              B.  KERANGKA KONSEPTUAL

                                               

                                              Menurut George Sehwarzenberger, memberikan 6 (enam) pengertian tentang hukum pidana internasional sebagai berikut[2] :

                                              1.      Hukum pidana internasional dalam pengertian : ruang lingkup teritorial hukum pidana nasional.

                                              2.      Hukum pidana internasional dalam pengertian : adanya aspek internasional yang ditentukan sebagai ketentuan pada hukum pidana nasional.

                                              3.      Hukum pidana internasional dalam pengertian : adanya kewenangan internasional yang terdapat didalam hukum pidana nasional.

                                              4.      Hukum pidana internasional dalam pengertian : hukum pidana          nasional yang diakui sebagai hukum dalam kehidupan bangsa-bangsa yang beradab.

                                              5.      Hukum pidana internasional dalam pengertian : materi-materi hukum yang tercantum pada hukum pidana internasional tersebut.

                                              Dalam konseptual hukum pidana internasional  kejahatan yang terjadi dalam lingkup internasional maupun dalan nasional (Indonesia) perlu adanya payung hukum yang memuat tentang syarat materiil dan formil yang digunakan pada peradilan dan pengadilan yang dilaksanakan dalam penerapan hukum pidana internasional melalui subyek maupun obyek hukum tersebut, maka dasar sumber hukum pidana internasional menyebutkan yang bersumber dengan klasifikasi sebagai berikut yaitu sumber utama dan sumber skunder dimana yang dimaksud adalah[3] :

                                              1.      Perjanjian internasional.

                                              2.      Kebiasaan internasional (International Custom).

                                              3.      Prinsip – prinsip hukum umum (General Principles of Law).

                                              4.      Keputusan  pengadilan dan pendapat para penulis terkenal.

                                              5.      Keputusan dalam sengketa antar negara.

                                              Dalam kajian yang dilaksanakan hukum pidana internasional yang didalamnya dengan salah satunya kejahatan trans-nasional dalam arti bahwa suatu perbuatan kejahatan yang dilakukan baik oleh pelaku dalam satu negara maupun lebih dari satu negara dengan melihat tempat maupun kejahatan yang dilakukan menyangkut lebih dari satu negara dengan korban secara umum dunia internasional yang menjadi kesepakatan antar negara, sehingga perlu adanya pembahasan mendalam yang berdasarkan asas hukum pidana international oleh Hugo Grotius sebagai berikut :

                                              Asas  au  dedere  au  punere ”[4]

                                              Berdasarkan asas tersebut diatas maka perlu adanya kajian dengan menggunakan teori Cesare Beccaria yaitu:

                                              “Deterence Theori “[5]

                                              Dalam pembahasan yang menggunakan Asas Au dedere au punere dengan mengkaji permasalahan dengan teori detterence maka akan menemukan perumusan dan pemecahan masalah hukum pidana internasional dengan  permasalahan kejahatan trans-nasional. 

                                               

                                               

                                              C.  F A K T A  

                                               

                                              Dalam dunia yang semakin global, terorisme berkembang sejalan dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, dan ini memungkinkan kelompok-kelompok teroris melakukan kegiatannya melampaui batas-batas negara tanpa terdeteksi. Serangan teroris terhadap Amerika Serikat pada 11 September 2001 bukan hanya telah membentuk agenda keamanan baru, tetapi juga telah menciptakan masalah-masalah keamanan baru bagi masyarakat internasional. Karena terorisme adalah sebuah ancaman paling menakutkan, maka masyarakat internasional harus bertindak bersama-sama untuk mempersempit ruang gerak teroris dan mencegah terulangnya tragedi September 2001. Masalah terorisme bukan sekadar masalah keamanan AS, melainkan masalah keamanan bersama, oleh karena itu ASEAN juga ikut menanggung akibat dari adanya tindakan teroris.

                                              Bersamaan dengan adanya aksi teroris yang terjadi  di Amerika, jaringan teroris juga melakukan aksinya Di Indonesia hal tersebut merupakan fakta dari aksi teroris yang merupakan kejahatan Trans-nasional. Berikut ini beberapa kejadian peledakan bom yang terjadi Di Indonesia adalah sebagai berikut[6] :

                                              Kejadian peledakan bom pada tahun 2000 :

                                              1.      Bom Kedubes Filipina, tanggal 1 Agustus 2000, bom meledak dari sebuah mobil yang diparkir di depan rumah Duta Besar Filipina, Menteng, Jakarta Pusat. 2 orang tewas dan 21 orang lainnya luka-luka, termasuk Duta Besar Filipina Leonides T Caday.  

                                              2.      Bom Gedung Bursa Efek Jakarta, tanggal 13 September 2000, ledakan mengguncang lantai parkir P2 Gedung Bursa Efek Jakarta. 10 orang tewas, 90 orang lainnya luka-luka. 104 mobil rusak berat, 57 rusak ringan.

                                              3.      Bom malam Natal Tahun 2000, tanggal 24 Desember 2000, serangkaian ledakan bom pada malam natal di beberapa kota Di Indonesia, merenggut nyawa 16 jiwa dan melukai 96 lainnya serta mengakibatkan 37 mobil rusak.

                                              Kejadian peledakan bom pada tahun 2001 :

                                              1.      Bom Plaza Atrium Senen, tanggal 23 September 2001, bom meledak di kawasan Plaza Atrium, Senen, Jakarta, 6 orang cedera.

                                              2.      Bom Restoran KFC Makassar, tanggal 12 Oktober 2001, ledakan bom mengakibatkan kaca, langit-langit, dan neon sign KFC pecah.

                                              3.      Bom sekolah Australia, tanggal 6 November 2001, bom rakitan meledak di halaman Australian International School (AIS), Pejaten, Jakarta.

                                              Kejadian peledakan bom pada tahun 2002 :

                                              1.      Bom malam Tahun Baru 2002, pada 1 Januari 2002, Di Palu, Sulawesi Tengah, terjadi empat ledakan bom di berbagai gereja.

                                              2.      Bom Bali 2002, pada 12 Oktober 2002, tiga ledakan mengguncang Bali. 202 korban yang mayoritas warga negara Australia tewas dan 300 orang lainnya luka-luka. Saat bersamaan Di Manado, bom rakitan juga meledak di kantor Konjen Filipina, tidak ada korban jiwa.

                                              3.      Bom Restoran McDonald’s Makassar 2002, pada 5 Desember 2002, bom rakitan yang dibungkus wadah pelat baja meledak di restoran McDonald’s Makassar. 3 orang tewas dan 11 luka-luka.

                                              Kejadian peledakan bom pada tahun 2003 :

                                              1.      Bom Bandara Cengkareng 2003, pada 27 April 2003, bom meledak dii area publik di terminal 2F, bandar udara internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng, Jakarta. 2 orang luka berat dan 8 lainnya luka sedang dan ringan.

                                              2.      Bom JW Marriott 2003, pada 5 Agustus 2003, bom menghancurkan sebagian hotel JW Marriott. Sebanyak 11 orang meninggal, dan 152 orang lainnya mengalami luka-luka.

                                              Kejadian peledakan bom pada tahun 2004 :

                                              1.      Bom Kedubes Australia 2004, tanggal 9 September 2004, ledakan besar terjadi di depan Kedutaan Besar Australia. 5 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka. Ledakan juga mengakibatkan kerusakan beberapa gedung di sekitarnya seperti Menara Plaza 89, Menara Grasia, dan Gedung BNI.

                                              Kejadian peledakan bom pada tahun 2005 :

                                              1.      Bom Pamulang, Tangerang 2005, pada 8 Juni 2005, bom meledak di halaman rumah Ahli Dewan Pemutus Kebijakan Majelis Mujahidin Indonesia Abu Jibril alias M Iqbal di Pamulang Barat.

                                              2.      Bom Bali 2005, pada 1 Oktober 2005, bom kembali meledak di Bali. Sekurang-kurangnya 22 orang tewas dan 102 lainnya luka-luka akibat ledakan yang terjadi di R.AJA’s Bar dan Restaurant, Kuta dan Di Nyoman Café serta Menega Cafe’ Jimbaran.

                                              3.      Pemboman Palu 2005, pada  31 Desember 2005, bom meledak di sebuah pasar di Palu, Sulawesi Tengah yang menewaskan 8 orang dan melukai sedikitnya 45 orang.

                                              Dari beberapa aksi teroris di beberapa tempat Di Indonesia yang dimulai dari tahun 2000 melibatkan pelaku yang berasal dari kewarga negaraan asing (Malaysia) seperti Dr Ashari dan Nurdin M Top. Akibat peledakan aksi bom bunuh diri oleh teroris banyak menimbulkan korban baik masyarakat lokal maupun warga negara asing (Australia, Jepang dan Amerika). Aksi teror tersebut menimbulkan kerugian baik material maupun jiwa serta menimbulkan perhatian dan reaksi dari dunia Internasional, sehingga diperlukan penanganan yang serius dari pemerintah Indonesia (Polri) dengan melakukan kerjasama dalam penegakan hukum dengan negara lain (internasional) dalam penanganan kejahatan teroris tersebut.  

                                              Peristiwa teror peledakkan bom di beberapa tempat dan waktu sejak dari tahun 2000 menimbulkan dampak dalam lingkup nasional maupun internasional, dampaknya dapat merugikan baik dari aspek ekonomi maupun keamanan suatu negara yang menyebabkan pengaruh perkembangan negara secara khusus dan dunia internasional dalam hubungan bilateral dan multilateral.

                                               

                                              D.  ANALISIS

                                               

                                              Dalam dunia internasional yang merupakan yang merupakan bagian dari perserikatan dari bangsa–bangsa, perlu adanya suatu aturan yang mengikat guna memberikan kepastian dan dasar oleh sutau negara dalam melakukan hubungah baik secara bilateral maupun multilateral. Dalam segi hukum pidana perlu adanya kepastian hukum yang harus dilaksanakan dan di patuhi bagi negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kejadian bom yang terjadi di Amerika, Indonesia dan negara lain di dunia merupakan kejahatan internasional dimana dalam penegakkan hukum nya dapat menggunakan asas hukum pidana international oleh Hugo Grotius sebagai berikut Asas  au  dedere  au  punere ” yaitu terhadap pelaku tindak pidana internasional dapat dipidana oleh negara tempat (locus delicti) terjadi dalam batas teritorial negara tersebut atau diserahkan atau diekstradisi kepada negara peminta yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili pelaku tersebut, yang dimaksud dalam asas tersebut adalah :

                                              –               Pelaku tindak pidana internasional dapat dipidana oleh negara tempat (locus delicti) terjadi dalam batas teritorial negara. Pelaku kejahatan terorisme Di Indonesia sudah dijerat dengan Undang-undang Terorisme (UU No. 15 Tahun 2003). Dalam proses penegakkan hukum teroris Di Indonesia masih menerapkan hukum pidana nasional diatas, padahal tindak pidana teroris yang terjadi adalah suatu kejahatan trans-nasional. Seharusnya aparat penegak hukum juga menerapkan hukum pidana internasional (Convention for the prevention and punishment of terrorism Di Genewa 1937, International convention for suppresion of terorism bombing 1998, dan International convention for thesuppresion of the financing of terorism 1999) untuk dapat melakukan penyidikan terhadap pelaku tindak pidana penyandang dana teroris, jaringan organisasi, otak intelektual dan pendukung logistik yang mana mereka berasal dari warga negara asing diluar yurisdiksi Indonesia[7].

                                              –               Pelaku tindak pidana internasional dapat diserahkan/diekstradisi kepada negara peminta yang dimiliki yurisdiksi untuk mengadili pelaku tersebut. maksudnya adalah negara pemohon dapat meminta ekstradisi pelaku yang merupakan warga negaranya namun permohonan dapat diberikan jika negara yang melakukan proses hukum memperbolehkan dan tidak ada pengembangan dalam proses hukum tersebut.

                                              Berdasarkan asas tersebut diatas maka perlu adanya kajian dengan menggunakan teori Cesare Beccaria yaitu “Deterence Theori “ yaitu kejahatan yang dilakukan dengan kehendak bebas (free will) individu sebelum melakukan kejahatan telah melalui pertimbangan dan pilihan, oleh karena itu pelaku pantas dimintakan pertanggung jawaban atas apa yang dilakukan (hukuman/efek jera) dapat berdampak langsung terhadap pelaku (special deterence) maupun calon maupun pelaku lainnya (general Deterence) :

                                              –               Sebelum melakukan kejahatan para pelaku teroris telah terbentuk dalam suatu organisasi terstruktur dimana Di Asia Tenggara dikenal dengan kelompok Jamaah Islamiah (JI) dengan memberikan pelatihan-pelatihan serta doktrin dengan dalih memerangi kemungkaran (jihad).

                                              –               Melalui pertimbangan yang diberikan oleh para pimpinan Jamaah Islamiah (JI) untuk memerangi Amerika dan sekutunya lewat aset ataupun warga negaranya.  Hal ini dikarenakan sebagai balasan atas penindasan Amerika Serikat dan sekutunya atas Bangsa Afganistan dan Palestina, sehingga pertimbangan dan ajaran tersebut dianggap benar oleh Kelompok Jamaah Islamiah (JI), dan dengan aksinya tersebut pelaku mendapatkan jaminan masuk sorga.

                                              –               Melalui pilihan pelaku melakukan aksi bom bunuh diri yang dilakukan terhadap fasilitas asing (Amerika, Australia dll) ataupun tempat bertemunya orang asing sehinga dengan aksinya tersebut akan berujung pada kerugian baik jiwa maupun materi.

                                              –               Pelaku pantas dimintakan pertanggung jawaban dengan aksinya yang meledakkan bom di beberapa tempat seperti Di Indonesia pada tahun 2000 – 2005 yang diproses secara hukum yang berlaku Di Indonesia yang diatur dalam Undang-undang No 15 tahun tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

                                              –               Dapat berdampak langsung terhadap pelaku (special deterence) yang dimaksud adalah hukuman penjara yang dilaksanakan pelaku sesuai dengan tindakannya baik penjara maupun hukuman mati maupun calon ataupun pelaku lainnya yang terkait dalam pelaksanaan aksi teroris serta pelaku yang turut serta membantu dalam teroris tersebut.

                                               

                                              E.  KESIMPULAN

                                               

                                              Perkembangan kejahatan dengan seiringnya perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang terjadi dalam suatu negara maupun dalam dunia internasional perlu adanya suatu payung hukum dalam penyelesaiannya, baik yang dilaksanakan dalam suatu negara maupun antar negara yang melibatkan baik pelaku kejahatan maupun korban kejahatnnya. Hukum pidana internasional merupakan hukum yang menjadi syarat materiil maupun formil dalam menegakkan hukum dalam kejahatan internasional dan trans-nasional. Dalam hukum pidana internasional, unsur substansinya menggunakan undang-undang yang berlaku yaitu hukum nasional serta proseduralnya dapat dilaksanakan oleh suatu negara yang melaksankan hukum tersebut maupun negara yang meminta. Asas  au  dedere  au  punere ” oleh Hugo Grotius yaitu terhadap pelaku tindak pidana internasional dapat dipidana oleh negara tempat (locus delicti) terjadi dalam batas teritorial negara tersebut atau diserahkan kepada negara peminta yang dimiliki yurisdiksi untuk mengadili pelaku tersebut. Kejahatan trans-nasional adalah kejahatan lintas batas nasional yang dimaksud dimana  kejahatan lintas negara yang dilakukan oleh pelaku yang berasal dari suatu negara atau antar negara yang merugikan baik secara materiil maupun nyawa orang yang berdampak atau berpengaruh terhadap antar negara maupun dunia internasional, seperti dengan adanya kejadian pengeboman yang dilakukan oleh teroris merupakan kejahatan trans-nasional, dimana kejahatan tersebut pelaku yang berasal bukan dari satu negara saja dan kerugian yang ditimbulkan baik jiwa orang asing dan Indonesia maupun materiil/aset negara lain, maka kejahatan teroris merupakan kejahatan trans- nasional. Kejahatan yang dilakukan oleh teroris tersebut tetap secara proses hukum dan substansi hukum mengunakan hukum nasional walaupun dalam pelaksanaan prosedural dibantu oleh pihak negara lain.

                                              Dengan adanya kejahatan trans-nasional yang dilakukan oleh teroris maka dalam penegakkan hukum yang berdasarkan teori Cesare Beccaria yaitu “Deterence Theori “ yaitu kejahatan yang dilakukan dengan kehendak bebas (free will) individu sebelum melakukan kejahatan telah melalui pertimbangan dan pilihan, oleh karena itu pelaku pantas dimintakan pertanggung jawaban atas apa yang dilakukan (hukuman-efek jera) dapat berdampak langsung terhadap pelaku (special deterence) maupun calon maupun pelaku lainnya (general Deterence), sehinga dalam pelaksanaan prosedural terhadap pelaku teroris menggunakan substansi hukum nasional.

                                              Kejahatan yang dilakukan teroris merupakan bentuk dari kejahatan trans-nasional karena pelaku, korban dan tempat terdapat lebih dari satu negara, sehingga dalam penanganan terorisme diperlukan kerjasama negara-negara baik regional maupun internasional. Dan dalam menindak lanjuti penanganan terhadap terorisme agar lebih efektif perlu adanya kerjasama dan kesepakatan dari dunia internasional, sehingga kejahatan trans-nasional tersebut merupakan bagian hukum pidana internasional.

                                               

                                               

                                               

                                              DAFTAR PUSTAKA

                                               

                                               

                                              Jenderal Polisi (P) Drs. Chairuddin Ismail., SH, MH, Kapita Selekta Penegakan Hukum Tindak Pidana Tertentu, Jakarta : PTIK Press, 2007.

                                              Prof. Dr. H.R. Abdussalam, Sik, SH, MH, Hukum Pidana Internasional 1, Jakarta : Restu Agung, 2006.

                                              Prof. Dr. H.R. Abdussalam, Sik, SH, MH, Hukum Pidana Internasional II, Jakarta : Restu Agung, 2006.

                                              Topo Santoso, SH, MH dan Eva Achjani Zulfa, SH, Kriminologi, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2005.

                                              www.wikipedia.com , Daftar Serangan Teroris Di Indonesia.

                                               

                                               


                                              [1] Jenderal Polisi (P) Drs. Chairuddin Ismail., SH, MH, Kapita Selekta Penegakan Hukum Tindak Pidana Tertentu, Jakarta : PTIK Press, 2007.

                                              [2] Prof. Dr. H.R. Abdussalam, Sik, SH, MH, Hukum Pidana Internasional 1, Jakarta : Restu Agung, 2006.

                                              [3] Prof. Dr. H.R. Abdussalam, Sik, SH, MH, Hukum Pidana Internasional 1, Jakarta : Restu Agung, 2006.

                                              [4] Prof. Dr. H.R. Abdussalam, Sik, SH, MH, Hukum Pidana Internasional 1, Jakarta : Restu Agung, 2006.

                                              [5] Topo Santoso, SH, MH dan Eva Achjani Zulfa, SH, Kriminologi, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2005.

                                              [6] www.wikipedia.com , Daftar Serangan Teroris Di Indonesia.

                                              [7] Prof. Dr. H.R. Abdussalam, Sik, SH, MH, Hukum Pidana Internasional II, Jakarta : Restu Agung, 2006.

                                              PEMBANGUNAN, URBANISASI KAITANNYA DENGAN KRIMINALITAS PADA PEMUKIMAN KUMUH DI JAKARTA

                                               

                                               

                                              Latar Belakang

                                              Modernisasi sering diidentikkan dengan pembangunan. Tujuan dari dilakukannya pembangunan adalah untuk mencapai kemakmuran bagi setiap rakyatnya. Demikianlah secara ideal pembangunan itu dilakukan oleh suatu negara. Akan tetapi, dalam melakukan proses pembangunan terdapat berbagai kendala guna pencapaiannya. Dimana, pembangunan yang dilakukan hanya dirasakan oleh segelintir orang saja. Hal demikian, bila melihat tujuan dari pembangunan Indonesia sangatlah bertentangan, karena tujuan dari pembangunan Indonesia adalah membangun manusia Indonesia seutuhnya. Ini berarti bahwa pembangunan yang dilakukan oleh bangsa ini hasilnya harus dirasakan dan dinikmati oleh rakyat indonesia tanpa terkecuali  sehingga kesejahteraan rakyat indonesia baik fisik maupun psikis dapat terwujud.

                                              Pembangunan yang dilakukan saat ini ternyata hanya dirasakan oleh segelintir orang saja, dimana mereka yang memiliki modal banyak akan terus bertengger dalam strata atas. Sedangkan mereka yang tidak memiliki modal menjadi semakin terpuruk dalam jurang yang dalam yakni ‘lembah kemiskinan’. Demikianlah ketimpangan dalam pembangunan yang selama ini terjadi, fenomena ini dapat kita lihat dari berkembangnya pemukiman kumuh di ibu kota.

                                              Gedung-gedung pencakar langit ibu kota yang menjulang tinggi ke angkasa, seakan berdiri dengan penuh keangkuhan untuk menutupi pemukiman kumuh yang ada di belakangnya. Mobil-mobil mewah yang lalu lalang di kawasan bisnis melaju bagaikan kereta emas ditengah gurun pasir yang panas. Kemiskinan di ibu kota dengan pemukiman kumuhnya seakan menjadi duri dalam daging, dimana keberadaannya hanya merupakan pemandangan yang tak sedap untuk dipandang mata, karena merusak kemegahan dan keindahan dari gemerlapnya ibu kota.

                                              Selain itu, keberadaan pemukiman kumuh seringkali dianggap sebagai sarang dari aktivitas kriminal. Karena dengan pemukiman yang padat dan banyaknya pendatang disana telah membuat daerah tersebut menjadi tak beraturan. Ditambah dengan tingginya jumlah pengangguran di pemukiman kumuh sehingga memudahkan terjadinya aktivitas kejahatan di sana.

                                              Permasalahan

                                              Pembangunan yang dilakukan oleh negara guna mensejahterakan rakyatnya, ternyata malah mengakibatkan hal lain yang bertentangan dengan konsep tersebut. Dimana pada kenyataannya, seiring dengan proses pembangunan yang dilakukan, justru malah mengakibatkan timbulnya pemukiman kumuh di wilayah perkotaan. Selain itu pula dipercaya bahwa pemukiman kumuh sering diidentikkan dengan aktivitas kriminalitas.

                                              Dengan melihat pada kedua permasalahan yang diajukan inilah, akan dibahas lebih lanjut dalam makalah yang singkat ini.

                                              Pendefinisian

                                              Walaupun terdapat banyak definisi tentang pembangunan, namun secara sederhana definisi dari pembangunan menurut Zulkarimen Nasution adalah suatu usaha yang dilakukan oleh suatu masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup  mereka.[1]

                                              Pemukiman kumuh biasa juga disebut dengan daerah slums (slums area) adalah daerah-daerah yang padat dengan penduduk berpenghasilan rendah. Kebanyakan yang menjadi daerah kumuh adalah wilayah perkotaan yang menerima migrasi penduduk dari desa.[2]

                                              Urbanisasi menurut Michael S. Bassis, dkk adalah “an increase in the persentage of a population in urban settlements and a resulting extension of the influence of urban culture and lifestyles”[3] (suatu peningkatan persentase populasi di pemukiman perkotaan dan mengakibatkan penambahan yang mempengaruhi kebudayaan kota dan gaya hidup).

                                              Sedangkan menurut Edwin Eames. dan David Goode, mengatakan bahwa lingkungan kumuh yaitu “daerah pemukiman yang sangat padat penduduknya  dan rumah-rumah didalamnya dibangun dengan tehnik konstruksi yang buruk dan menggunakan bahan-bahan  yang bermutu rendah. Pola pemukiman  tidak berstruktur dan tidak dilengkapi dengan sarana-sarana umum  seperti fasilitas air bersih, pembuangan sampah, saluran pembuangan air dan kotoran serta jalan-jalan yang bersih, dan sering kali kondisi ini dihubungkan dengan ongkos sewa yang relatif mahal dan bahaya penggusuran”.[4]

                                              Pemukiman Kumuh dan Urbanisasi

                                              Adanya arus urbanisasi yang terjadi secara besar-besaran dari suatu wilayah ke wilayah lainnya yang pada umumnya dari desa ke kota merupakan salah satu penyebab dari keberadaan pemukiman kumuh. Perpindahan peduduk yang dilakukan ini adalah dengan harapan untuk dapat mencari perubahan kehidupan yang lebih baik di ibu kota.

                                              Pada kenyataannya, ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Kehidupan di perkotaan memiliki persaingan yang cukup ketat. Tanpa memiliki keahlian khusus bagi mereka yang datang ke kota, maka akan sulit untuk dapat bersaing dengan lainnya – kebanyakan mereka yang datang ke ibu kota tidak memiliki keahlian yang cukup memadai. Hal demikian mengakibatkan mereka – yang beruntung memiliki modal sendiri (walaupun pas-pasan) atau memiliki koneksi –  terpaksa beralih pada pekerjaan di sektor-sektor informal lainnya seperti dengan menjual bakso, tukang becak, penjual kaki lima, dll. Sedangkan bagi mereka yang tidak memiliki modal atau tidak memiliki keahlian sama sekali, akhirnya terpaksa menjadi pengangguran atau bila sudah ‘kepepet’ terpaksa melakukan kejahatan.

                                              Sementara, pesatnya pertumbuhan daerah perkotaan juga telah menyebabkan terjadinya kompetisi dalam penggunaan lahan, yang pada gilirannya akan menimbulkan permasalahan dalam perencanaan penggunaan lahan, misalnya antara penggunaan lahan untuk perumahan dengan penggunaan lahan untuk industri, atau penggunaan lahan untuk ruang terbuka hijau, pemukiman atau perkantoran. Sementara itu, secara bersamaan terjadi penciutan luas lahan pertanian, akibat dari perluasan lahan untuk perkantoran, pusat perbelanjaan, pertokoan dan lainnya. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, penggunaan lahan di wilayah DKI Jakarta menunjukan adanya perubahan lahan yang cukup besar dari penggunaan untuk pertanian menjadi untuk bangunan dan jenis-jenis penggunaan lainnya.

                                              Selain untuk kegiatan ekonomi, sebagian besar dari luas wilayah DKI Jakarta masih dimanfaatkan untuk pemukiman penduduk. Bahkan di wilayah ini masih terdapatnya lingkungan pemukiman kumuh, diantaranya berkategori kumuh berat yang lokasinya tersebar hampir diseluruh wilayah. Di Jakarta Pusat pemukiman kumuh terdapat di kecamatan Senen, Kemayoran dan Johar Baru atau tepatnya di kelurahan Petojo Selatan, Karang Anyar, dan Galur, di Jakarta Timur di kelurahan Cipinang Melayu, Cipinang, Cempedak, Pisangan Baru, Kayu Manis dan Pisangan Timur, di Jakarta Selatan di kecamatan Kebayoran Lama, Mampang Prapatan dan Pancoran, dan di Jakarta Barat di kecamatan Angke, Duri Utara, Tambora, Kapuk dan Rawa Buaya. Nampak bahwa pemukiman kumuh yang terluas (terbanyak) terdapat di wilayah Jakarta Utara.[5] Pada umumnya kawasan kumuh serta gubuk liar berada disekitar perumahan penduduk golongan menengah ke atas dan juga sekitar gedung-gedung perkantoran maupun lokasi perdagangan, sehingga semakin memperlihatkan adanya perbedaan sosial-ekonomi dan turut pula memperburuk kualitas lingkungan visual kota.

                                              Tinjauan Historis Arus Urbanisasi ke Jakarta

                                              Batavia didirikan oleh para kolonis Belanda tahun 1619 di tempat pemukiman yang disebut Sunda Kelapa, dan kemudian Djajakarta. Selama lebih dari 200 tahun, kota perusahaan kolonial yang dibangun di atas daerah rawa-rawa yang tidak sehat itu menjadi pusat pemerintahan, perdagangan dan komersil di Hindia Belanda Timur. Kota ini juga menjadi pusat eksploitasi dan pengerukan surplus kolonial, hubungan antara ibu kota dengan bagian lain di Indonesia saat ini juga paralel dengan proses urbanisasi itu sendiri.[6] Bahkan saat itu, mayoritas penduduk adalah orang yang ‘terseret arus’ kebijakan kota kolonial, dan memang karakter dinamis kehidupan kota dicapai dengan mengorbankan kelompok yang tidak dinamis, massa besar Indonesia.

                                              Ekspansi kota besar-besaran pada tahun 1890-an diikuti oleh perkembangan suatu ‘kesadaran sosial’ Belanda dan sosiologi perkotaan yang awal dasawarsa 1920-an; dalam beberapa hal, kesadaran nasional elit yang terbentuk setelah kemerdekaan adalah kembali kesuatu model yang lebih kaku. Meskipun orang-orang Indonesia telah mengambil alih kemerdekaan, ‘jakarta tetap menjadi pusat politik, ekonomi dan kehidupan budaya, dan simbol prestise nasional serta aspirasi-aspirasi material’, dan budaya yang didominasi Belanda diubah bentuknya menjadi superkultur metropolitan yang dibentuk oleh elit baru.[7]

                                              Menonjolnya Jakarta setelah kemerdekaan tak dapat dihindarkan membuatnya menjadi daya tarik yang kuat bagi orang-orang desa, dengan pertumbuhan penduduk yang luar biasa besar setelah 1950-an yang mencapai 2,9 juta jiwa pada tahun 1961, 4,6 juta pada tahun 1971, 6,6 juta tahun 1981. Tahun 1985 jumlahnya mencapai 7,8 juta orang dan diproyeksikan mencapai 12 juta pada tahun 2005.[8]

                                              Sementara ibu kota mengalami ledakan penduduk, ‘boom’ konstruksi gedung-gedung, serta pergejolakan politik, dikotomi antara Jakarta dengan bagian-bagian lain Indonesia terus bergejolak. Kontradiksi antara realitas kehidupan kampung dengan ideologi tentang ‘kota metropolitan’[9] yang glamor mengundang mereka untuk mengadu nasib ke ibu kota.

                                              Keterkaitan Pembangunan, Modernisasi, dan Urbanisasi Terhadap Kriminalitas di Pemukiman Kumuh

                                              Pembangunan sering salah satunya dikaitkan dengan modernisasi. Menurut Tehranian (1979)[10] mengartikan kemajuan (progress), pembangunan (development), dan modernisasi, sebagai suatu fenomena historis yang sama, yaitu suatu transisi dari suatu masyarakat agraris ke masyarakat industrial. Konsep tersebut diadopsi dari teori modernisasi yang menganggap bahwa negara-negara terbelakang akan menempuh jalan sama dengan negara industri maju di Barat sehingga kemudian akan menjadi negara berkembang pula melalui proses modernisasi.[11]

                                              Proses modernisasi yang dilakukan telah mendorong terjadinya arus urbanisasi pada masyarakat di pedesaan dengan harapan perbaikan ekonomi. Hal ini menunjukkan suatu kecenderungan yang selalu melekat (inheren) dalam latar (setting) historis yang berbeda, ke arah alinasi[12] tenaga kerja, atomisasi masyarakat[13], birokratisasi penguasa, dan hegemonisasi kebudayaan.[14]

                                              Melihat ini maka, modernisasi merupakan suatu hasil interaksi akibat adanya interelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi.[15] Hal ini berkaitan karena modernisasi terjadi sebagai hasil dari interaksi dengan mengadopsi teknologi dari negara maju / Barat. Hal ini selanjutnya bisa mempengaruhi kondisi dari negara yang bersangkutan dalam menerima perubahan yang terjadi yakni perubahan pada faktor eksternal maupun faktor internal dari negara yang bersangkutan.

                                              Perubahan eksternal yang terjadi adalah perubahan dengan adanya pengadopsian teknologi canggih dari negara Barat guna meningkatkan produktivitas sumber daya yang ada di negara yang bersangkutan. Sedangkan perubahan pada faktor internal adalah peningkatan kualitas sumber daya pada negara yang bersangkutan untuk melakukan persaingan dengan negara lain.

                                              Akan tetapi, tidak semua perubahan yang dilakukan sesuai dengan keinginan. Terdapat ketimpangan yang terjadi sebagai ekses dari proses modernisasi yang dilakukan. Salah satunya adalah timbulnya pemukiman kumuh yang disebabkan karena kurangnya lahan yang ada di perkotaan dan banyaknya mereka yang tidak mampu untuk berkompetisi dalam persaingan untuk hidup di kota besar.

                                              Seiring dengan adanya pemukiman kumuh tersebut, maka dipercaya terdapat korelasi antara lingkungan  kumuh dengan kriminalitas ataupun perilaku menyimpang, ini menurut Mardjono Reksodiputro[16], adalah :

                                              Daerah kumuh sering dikategorikan sebagai “daerah rawan”. Kerawanannya terletak pada potensi tinggi yang dipunyai daerah-daerah ini meningkatkan perilaku menyimpang dan meninggikan angka kriminalitas kota yang bersangkutan Meskipun hal ini mempunyai kebenarannya, namun kenyataannya adalah bahwa tidak semua penduduk daerah-daerah kumuh terlibat dalam perilaku menyimpang atau perilaku yang melanggar hukum pidana. Kemungkinan besar hanya sebagian kecil saja yang hidup dari kejahatan. Yang mungkin benar adalah bahwa sering ada rasa “apathy” dan “fatalism” untuk merubah kehidupan sendiri ataupun lingkungannya. Juga umumnya mereka cenderung mempunyai toleransi yang lebih besar terhadap “perilaku menyimpang” pada umumnya, khususnya apabila dilakukan terhadap “dunia luar mereka”.

                                              Sedangkan menurut Sudjono D. [17]  Menjelaskan  bahwa ada beberapa faktor lingkungan  yang menyebabkan terjadinya kejahatan, yaitu :

                                              1. Lingkungan yang memberi kesempatan akan timbulnya kejahatan;
                                              2. Lingkungan pergaulan yang memberi contoh/tauladan;
                                              3. Lingkungan ekonomi (kemiskinan/kemelaratan);
                                              4. Lingkungan pergaulan yang berbeda-beda

                                               

                                              Kemudian W.A Bonger[18] menyatakan bahwa ada 7 (tujuh) faktor lingkungan  sebagai penyebab terjadinya kejahatan, yaitu :

                                              1. Terlantarnya anak-anak;
                                              2. Kesengsaraan;
                                              3. Nafsu ingin memilki;
                                              4. Demoralisasi sexuil;
                                              5. Alkoholisme;
                                              6. Kurangnya peradaban;
                                              7. Perang;

                                              Dan tiap kejahatan tersebut adalah hasil unsur-unsur yang terdapat didalam individu masyarakat dan keadaan fisik.

                                              R. Owen (1771-1852) dalam bukunya “The Book Of The New Moral World” mengatakan bahwa “lingkungan yang tidak baik membuat kelakuan seseorang menjadi jahat, dan lingkungan yang baik sebaliknya”.[19]

                                              Terbentuknya Segregasi dan Spesialisasi di Pemukiman Kumuh Sebagai Akibat dari Urbanisasi

                                              Melihat pada hal ini, bila kita menghubungkan antara pemukiman kumuh seiring dengan adanya arus urbanisasi, maka berdasarkan teori Sosial Disorganization yang mengatakan bahwa :

                                              Social disorganization theory focuses on the rule of community variation in social and economic resources, and the related ability of communities to generate and uphold shared rules for behavior through informal social controls and socialization. Social disorganization theory basically views community variation in rules and resources as a result of procesess and pattern of urbanization and residential segregation[20].

                                              Bila diterjemahkan kurang lebih sebagai berikut :

                                              Teori disorganisasi memandang dari aturan atas keragaman masyarakat dalam sumber daya ekonomi dan sosial, dan kemampuan hubungan dari masyarakat untuk menghasilkan dan mempertahankan bagian / peranan aturan melalui tingkah laku kontrol sosial informal dan sosialisasi. Sosial disorganisasi pada dasarnya memandang keragaman dalam aturan dan sumber daya sebagai akibat dari proses dan pola urbanisasi dan segregasi / pemisahan daerah pemukiman.

                                              Melihat pada Jakarta yang secara sosial maupun spasial terbagi secara jelas, dengan kawasan kampung kelas bawah dicirikan oleh kepadatan penduduk yang luar biasa dan kegiatan-kegiatan sektor informal. Itulah sebabnya mengapa di Jakarta banyak terdapat nama-nama daerah pemukiman asal pendatang (segregasi pemukiman), seperti Kampung Bali, Kampung Makasar, Mess Irian di Tanah Abang, Manggarai untuk suku Nusa Tenggara, dll. Selain itu pula segregasi pemukiman membuat spesialisasi dalam bidang-bidang pekerjaan tertentu khususnya dalam bidang informal, seperti tukang kredit biasanya dilakukan oleh orang Sunda, Pedagang kaki lima oleh orang Padang, Tukang sate pada orang Madura dll.

                                              Dengan demikian, terkadang keadaan seperti ini sering kali dapat menimbulkan konflik, terutama apabila terjadi pertemuan antara dua kebudayaan yang sama-sama keras, seperti antara orang Madura dengan orang Makasar. Inilah yang disebut oleh Sellin sebagai ‘conflik of conduct norms’. Dimana sering kita dapati tawuran antar kampung yang terjadi di kawasan pemukiman kumuh, atau perang dengan menggunakan senjata seperti yang terjadi di Tanah Abang antara suku Betawi dengan Irian.

                                              Pemukiman Kumuh Sebagai Permasalahan Sosial

                                              Salah satu problem sosial yang saat ini kerap melanda masyarakat lapis menengah ke bawah, adalah ancaman terjadinya penggusuran tempat tinggal mereka. Pesatnya pertumbuhan sektor ekonomi dengan berbagai dampak lainnya, telah menciptakan kesempatan berkembangnya sektor industri, khususnya industri properti. Di banyak tempat di ibu kota, fenomena penggusuran pemukiman kumuh untuk berbagai kepentingan telah menjadi kisah klasik yang memiliki kadar risiko sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang tinggi. Alasan klasik yang kerap dikemukakan sementara pihak untuk menggusur keberadaan pemukiman kumuh, karena lingkungan pemukiman yang demikian rentan terhadap kriminalitas dan mengganggu keindahan tata kota yang tengah berkembang menuju metropolis.

                                              Bagaimanapun juga, keberadaan pemukiman kumuh tidak sepantasnya dipandang semata-mata sebagai physical fabric, melainkan juga sebagai social fabric (Andy Siswanto, 1994).[21] Artinya, dari generasi ke generasi, penghuni pemukiman kumuh telah memiliki suatu bentuk kohesi sosial yang khas. Dari sudut struktur aglomerasi ekonomi perkotaan maupun sosial, mereka adalah sebuah self contained neigborhood yang utuh. Oleh karenanya, upaya transformasi fisik lingkungan dan perumahan, seharusnya tetap mampu mendukung karakteristik sosial ekonomi penghuninya.

                                              Dua faktor kunci, agaknya bisa menjadi determinan bagi upaya mengatasi problem sosial pemukiman kumuh di perkotaan – penyediaan ruang-ruang publik (public space) dan pengaturan teritorialitas (territory) para penghuni area itu. Representasi paling riil dari rakyat berada di dalam public space. Dalam pemahaman itu, public space memberikan kesempatan, yakni ketika manusia tidak dibedakan status sosial ekonominya; sekaligus dalam hal itu melekat konsep freedom dan equality. Sedangkan, teritorialitas (territory), memungkinkan penghuni slums mendisain struktur lingkungan permukiman tanpa harus mengeluarkan ongkos mahal. Teritori dimaksud adalah, upaya menuntun banyak orang agar memikirkan perilaku teritori sebagai sesuatu yang bisa menyebabkan timbulnya konflik dan agresi. Ia merupakan sebuah percampuran lokasi geografikal, yang menunjuk kepada perilaku-perilaku seseorang agar menggunakan kontrol diri mereka atas aktivitas-aktivitas yang berlangsung dalam ruang atau wilayah tempat tinggal mereka (Ardrey, 1966)[22].

                                              Apa pun, pada satu sisi, intervensi pemerintah tetap dibutuhkan dalam arti memberikan good will kepada masyarakat di wilayah slums agar punya kesempatan menata lingkungan mereka sendiri, tanpa di sisi lain membuat masyarakat tersebut merasa terintimidasi oleh berbagai kebijakan “penataan” wilayah yang terkesan represif. [23]

                                              Kesimpulan

                                              Pembangunan yang telah dilakukan selama ini ternyata tidak menjangkau seluruh lapisan dari masyarakat, dimana pembangunan hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Hal ini tidak sesuai dengan konsep pembangunan Indonesia yakni membangun manusia Indonesia seutuhnya dan seluruh masyarakat indonesia. Hal ini dapat dilihat dari berkembangnya pemukiman kumuh yang menghiasi daerah ibu kota.

                                              Salah satu sebab berkembangnya pemukiman kumuh adalah adanya arus urbanisasi ke ibu kota. Dimana daya tarik dari metropolitan yang memikat mengundang setiap orang untuk mengadu nasib disana. Dikarena mereka yang kebanyakan datang ke ibu kota tidak memiliki keahlian yang memadai, akhirnya mereka terpaksa beralih pada pekerjaan disektor informal, sedangkan mereka yang tidak memiliki kealian apa-apa serta tidak memiliki modal akhirnya terpaksa melakukan tindakan kejahatan.

                                              Faktor lain dari pemukiman kumuh juga terjadi karena keterbatasan lahan yang dipergunakan untuk aktivitas ekonomi seperti untuk industri dan perkantoran, pusat perbelanjaan, pertokoan sehingga lahan yang ada semakin sempit.

                                              Keberadaan pemukiman kumuh juga membentuk asal daerah pendatang serta spesialisasi khusus di bidang pekerjaan informal berdasarkan kedaerahannya. Kondisi demikian dapat mengakibatkan konflik terutama bila terjadi kesalahpahaman diantara masing-masing pihak yang memiliki dua kebudayaan yang keras.

                                              Walaupun demikian, keberadaan pemukiman kumuh tidak dapat dipandang sebelah mata, karena biar bagaimanapun mereka merupakan bagian dari masyarakat kota. Dimana mereka yang tinggal disana telah cukup lama bisa beberapa generasi. Untuk itulah, diperlukan suatu penanganan yang bijak dari pihak pemerintah dalam penanganannya agar tidak menggunakan cara yang represif. Hal ini mengingat bahwa pemukiman kumuh terjadi akibat ekses dari proses pembangunan dan juga pemukiman kumuh merupakan korban dari pembangunan yang dilaksanakan sendiri oleh pemerintah.

                                              Daftar Pustaka

                                              Bassis, Michael S., Richard J. Gelles, dan Ann Levine., “Sociology an Introduction”, Fourth Edition, McGraw Hill, Inc., New York, St Louis, San Francisco, Auckland, Bogota, Caracas, Lisbon, London, Madrid, Mexico, Milan, Montreal, New Delhi, Paris, San Juan, Singapore, Sydney, Tokyo, Toronto., 1991.

                                              Bonger, W.A, “Pengantar tentang Kriminologi”, (Cetakan ke-2 Jakarta: PT. Pembangunan, 1962)

                                              Cohen, D., “Poverty and Development in Jakarta”, University of Wiscounsin, 1975

                                              Eames, Edwin and David goode, “Urban Proverty  in Cross Cultural Contact (New York:The Full Press, 1973).

                                              Gosita, Arief.,“Korban Modernisasi, Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknology”, dalam J. E. Sahetapy, Editor., “Bunga Rampai Viktimisasi”, Karya Ilmiah Para Pakar Hukum., dalam “Korban Modernisasi, Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknology

                                              Haan, F. De tentang Batavia (Oud Batavia 1); J. Van der Kroef., “The Indonesian City: Its Culture and Evolution”,  Asia, No 2 (March 1953) dan W.F. Wertheim., “The Indonesian Town: Studies in Urban Sociology”, (The Hague: Van Hoove, 1959) membahas sosiologi kota Jakarta. P. Milone., “Queen City of the East: The Metamorphosis of a Colonial Capital”, tesis Ph.D., University of California, 1966 dan S. Abeyasekere., “Jakarta: A History”, Singapore: Oxford University Press, 1987. memberikan pandangan sejarah umum dan A. Surjomihardjo., “Pemekaran Kota Jakarta”, Jakarta, Djabatan, 1977, memberikan peta perkembangan Jakarta

                                              Murray, Alison J.., “ No Money, No Honey, A Study of  Street Traders and Prostitutes in Jakarta”, di Indonesia-kan oleh Parsudi Suparlan dalam, “Pedagang Jalanan dan Pelacur Jakarta”, LP3ES, Jakarta, 1994, hal.22 dikutip dari DKI, Rencana Umum Tata Ruang DKI Jakarta 2005 (Jakarta, DKI 1983).

                                              Nasution, Zulkarimen., “Komunikasi Pembangunan: Pengenalan dan Pengharapannya”, Jakarta, Rajawali Pers, 1992

                                              Reksodiputro, Mardjono, “Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana”, Kumpulan Karangan-Karangan Buku Kedua, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, Jakarta, 1994.

                                              Shadily, Hassan, “Ensiklopedia Indonesia”, Ikhtiar Baru-Hoove, Jakarta, 1984

                                              Sunarto, Kamanto, “Pengantar Sosiologi”, Jakarta, Lembaga Penerbit Lembaga Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1993

                                              Sudjono D. “Konsepsi Kriminologi dalam Usaha Penanggulangan Kejahatan, (Bandung: Penerbit alumni 1978)

                                              Soekanto, Soerjono, Doktrin-doktrin Krimonologi, (Bandung  Penerbit alumni 1970)

                                              Wikstrom, Olof H., “Communities and Crime”, , Handout Kuliah Kriminologi Pembangunan

                                              http://www.Google.com., Rommy Ardiansyah., “Ruang Dan Keberadaan Metropolitan Di Indonesia”.


                                              [1] Zulkarimen Nasution., “Komunikasi Pembangunan: Pengenalan dan Pengharapannya”, Jakarta, Rajawali Pers, 1992, hal. 35

                                              [2] Hassan Shadily, “Ensiklopedia Indonesia”, Ikhtiar Baru-Hoove, Jakarta, 1984, hal. 117

                                              [3] Michael S. Bassis, Richard J. Gelles, dan Ann Levine., “Sociology an Introduction”, Fourth Edition, McGraw Hill, Inc., New York, St Louis, San Francisco, Auckland, Bogota, Caracas, Lisbon, London, Madrid, Mexico, Milan, Montreal, New Delhi, Paris, San Juan, Singapore, Sydney, Tokyo, Toronto., 1991. hal. 566

                                              [4] Edwin Eames and David goode, “Urban Proverty  in Cross Cultural Contact (New York:The Full Press, 1973). Hal 69.

                                              [5] Lihat http://www.Google.com., Rommy Ardiansyah., “Ruang Dan Keberadaan Metropolitan Di Indonesia”.

                                              [6] Lihat studi F. De Haan tentang Batavia (Oud Batavia 1); J. Van der Kroef., “The Indonesian City: Its Culture and Evolution”,  Asia, No 2 (March 1953) dan W.F. Wertheim., “The Indonesian Town: Studies in Urban Sociology”, (The Hague: Van Hoove, 1959) membahas sosiologi kota Jakarta. P. Milone., “Queen City of the East: The Metamorphosis of a Colonial Capital”, tesis Ph.D., University of California, 1966 dan S. Abeyasekere., “Jakarta: A History”, Singapore: Oxford University Press, 1987. memberikan pandangan sejarah umum dan A. Surjomihardjo., “Pemekaran Kota Jakarta”, Jakarta, Djabatan, 1977, memberikan peta perkembangan Jakarta

                                              [7] D. Cohen, “Poverty and Development in Jakarta”, University of Wiscounsin, 1975, hal 18

                                              [8] Alison J. Murray., “ No Money, No Honey, A Study of  Street Traders and Prostitutes in Jakarta”, di Indonesia-kan oleh Parsudi Suparlan dalam, “Pedagang Jalanan dan Pelacur Jakarta”, LP3ES, Jakarta, 1994, hal.22 dikutip dari DKI, Rencana Umum Tata Ruang DKI Jakarta 2005 (Jakarta, DKI 1983).

                                              [9] Istilah Metropolitan secara eksplisit digunakan oleh Ali Sadikin, Gubernur Jakarta tahun 1966 sampai 1977, dimana istilah ini tidak didefinisikan secara jelas, tetapi secara umum berarti suatu kota yang bersih, teratur, tertata untuk mobil, dan menarik bagi orang Barat

                                              [10] Op.Cit., Zulkarimen, hal. 35

                                              [11] Kamanto Sunarto, “Pengantar Sosiologi”, Jakarta, Lembaga Penerbit Lembaga Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1993, hal. 219

                                              [12] Berarti Keterasingan individu-individu anggota masyarakat di antara satu dengan lainnya

                                              [13] Konsep sosiologi yang berarti suatu keadaan dimana masyarakat tidak lagi sepenuhnya merupakan kebulatan yang kokoh, melainkan tercerai-berai atas anggota-anggotanya

                                              [14] Op. Cit, Zulkarimen Nasution, hal. 38

                                              [15] Arief Gosita.,“Korban Modernisasi, Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknology”, dalam J. E. Sahetapy, Editor., “Bunga Rampai Viktimisasi”, Karya Ilmiah Para Pakar Hukum., dalam “Korban Modernisasi, Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknology”, hal. 180

                                              [16] Mardjono Reksodiputro, “Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana”, Kumpulan Karangan-Karangan Buku Kedua, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, Jakarta, 1994. hal. 43

                                              [17] Sudjono D. “Konsepsi Kriminologi dalam Usaha Penanggulangan Kejahatan, (Bandung: Penerbit alumni 1978) Hal. 22.

                                              [18] Soerjono Soekanto, Doktrin-doktrin Krimonologi, (Bandung  Penerbit alumni 1970) hal. 17.

                                              [19] W.A Bonger, “Pengantar tentang Kriminologi”, (Cetakan ke-2 Jakarta: PT. Pembangunan, 1962) Hal. 12.

                                              [20] Per-Olof H. Wikstrom., “Communities and Crime”, hal 288-289, Handout Kuliah Kriminologi Pembangunan

                                              [21] Op. Cit, Rommy Ardiansyah

                                              [22] Op. Cit, Rommy Ardiansyah

                                              [23] Op. Cit, Rommy Ardiansyah

                                              LEMAHNYA PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PASAR MODAL

                                              I.       Pendahuluan

                                              1.      Latar Belakang

                                              Tujuan pembangunan nasional adalah terciptanya suatu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. bahwa Pasar Modal mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan nasional sebagai salah satu sumber pembiayaan bagi dunia usaha dan wahana investasi bagi masyarakat. Agar Pasar Modal dapat berkembang dibutuhkan adanya landasan hukum yang kukuh untuk lebih menjamin kepastian hukum pihak-pihak yang melakukan kegiatan di Pasar Modal, serta melindungi kepentingan masyarakat pemodal dari praktik yang merugikan. Sejalan dengan hasil-hasil yang dicapai pembangunan nasional serta dalam rangka antisipasi atas globalisasi ekonomi, Undang-undang Nomor 15 Tahun 1952 tentang Penetapan Undang-undang Darurat tentang Bursa (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 79) sebagai Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 1952 Nomor 67) dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Undang-undang tentang Pasar Modal ( Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 ) sangatlah penting untuk menjamin kepastian hukum pihak-pihak yang melakukan kegiatan di Pasar Modal.

                                              Industri perbankan di Indonesia memiliki kerawanan substansial. Meski bebas dari bisnis keluarga, peta perbankan tidak lepas dari pemilik mayoritas yang umumnya pihak asing. Penegakan hukum merupakan sisi paling terbengkalai di Indonesia ini. Sebagian besar masalah yang menyebabkan krisis ekonomi adalah dilanggarnya aturan hukum, misalnya pelanggaran BMPK (batas maksimal pemberian kredit). Kemudian, usaha memulihkan perekonomian juga terhambat akibat rendahnya penegakan hukum.

                                              Sejauh ini ada empat institusi yang dibentuk dalam rangka memulihkan perekonomian dari krisis, yaitu BPPN, Indonesian Debt Restructuring Agency (INDRA) untuk menyelesaikan utang swasta dengan luar negeri, Jakarta Initiative untuk kasus utang swasta dalam negeri, dan Pengadilan Niaga yang memfasilitasi upaya penyelesaian perkara lewat metode kepailitan. Mekanisme kerja pada keempat institusi ini selalu diiringi masalah penegakan hukum. Seandainya hukum bisa segera ditegakkan, ekonomi kita sudah pulih sejak dulu.

                                              Kini sederet masalah hukum kian menggunung. Belum lagi kasus pembobolan bank (kasus Bank BNI) bisa diselesaikan, kompleksitas masalah hukum mulai terasa dalam industri reksa dana. Apa pun motifnya, peristiwa yang menimpa nasabah PT Bank Global International yang tertipu dengan produk reksa dana yang dikeluarkan pengelola reksa dana Prudence menandakan lemahnya sistem hukum di sektor finansial. Sudah terlalu sering berita mengenai lemahnya perlindungan investor, termasuk kasus Bank Asiatik dan Bank Dagang Bali.

                                              2.      Maksud dan Tujuan

                                              Makalah ini disusun dengan maksud untuk memberi gambaran betapa lemahnya system hukum kita di Indonesia baik tentang perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang melakukan kegiatan di Pasar Modal maupun aparatur penegak hukum yang masih lemah dimana tidak dilibatkannya Polri selaku penyidik yang sah menurut KUHAP dan UU Kepolisian ( UU Nomor 2 Tahun 2002 ).

                                              Makalah ini disusun dengan tujuan sebagai pelaksanaan tugas mata kuliah Kapita Selekta Hukum Pidana Tertentu dalam rangka pendidikan di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian.

                                              II.    Permasalahan

                                              Dalam makalah ini penulis akan mencoba mengangkat permasalahan yang kerap menimpa Pasar Modal kita baik dari aspek penegakan hukumnya maupun lemahnya system penegakan hukum di Pasar Modal, sehingga kerap menimpa para pihak-pihak yang melakukan kegiatan di Pasar Modal serta masyarakat pemodal. Yang akhirnya akan menyebabkan krisis perekonomian di Indonesia. Secara rinci permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :

                                              1. Pasar Modal sering digunakan sebagai lahan money loundering.
                                              2. Lemahnya penegak hukum di Pasar Modal serta peran Polri dalam upaya membantu penegakan hukumnya.

                                              III.   Pembahasan

                                              1. Pasar Modal sering digunakan sebagai lahan money loundering.

                                              Berkaitan dengan Pasar Modal, ada dua pendapat dimana satu pendapat menyatakan bahwa Pasar Modal tidak bias digunakan untuk Money Loundering dan yang kedua berpendapat bahwa Pasar Modal bisa menjadi media Money Loundering. Pendapat pertama berargumen bahwa setiap transaksi yang melalui Pasar Modal pasti sudah terlebih dahulu melalui Bank sehingga sangat sulit untuk melakukan money laundering melalui Pasar Modal. Hal tersebut dapat terlihat dari minimnya laporan transaksi yang mencurigakan dari sektor Pasar Modal ke PPATK. Kalaupun ada, itu merupakan imbas nyata dari tindak pidana yang terlebih dahulu telah masuk sistim perbankan dan ditingkat internasionalpun pelaporan mengenai money laundering melalui Pasar Modal sangatlah sedikit.

                                              Sedangkan pendapat kedua berargumen bahwa Pasar Modal tetap menjadi lahan yang sangat menarik untuk tempat money laundering karena sistim Pasar Modal sangat potensial untuk hal tersebut, karena selain borderless juga mempunyai turn over yang sangat tinggi. Tapi tidak ada salahnya kita telusuri lebih dalam mengenai hal tersebut dari karakteristik money laundering. Tindak pidana pencucian uang biasanya dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut:

                                              a)      Proses Placement Melalui Pasar Modal

                                              Tahap ini adalah tahap yang paling krusial karena tahap ini merupakan tahap dimana uang hasil kejahatan masuk dalam sistim keuangan. Pada tahap ini, terdapat unsur memasukkan dana ke sistim keuangan, baik itu dalam skala nasional maupun trans nasional. Proses ini sangat jarang dilakukan melalui Pasar Modal karena proses ini merupakan proses dimana dana hasil tindak kejahatan masuk kedalam sistim keuangan. Dalam sistim Pasar Modal yang berlaku umum (best practice), investor yang membuka rekening efek atau membeli unit penyertaan Reksa Dana harus memasukkan dananya melalui sistim perbankan, yang artinya seleksi pendahuluan atas masuknya dana tersebut berada pada pihak Bank.

                                              Akan tetapi dengan semakin ketatnya persaingan antar Perusahaan Efek hal tersebut tidak dapat diabaikan, karena memang tidak ada satu aturan pun yang melarang Perusahaan Efek menerima dana nasabah dalam bentuk tunai. Selain itu terdapat beberapa mekanisme yang mungkin dapat digunkan dalam proses ini, yaitu antara lain:

                                              • Penyetoran tunai pada saat margin call.

                                              Margin trading, praktik yang biasa dilakukan dalam Pasar Modal, adalah transaksi dimana pemodal dapat melakukan transaksi lebih besar dari dana yang dimiliki nasabah tersebut. Biasanya, Perusahaan Efek akan memberikan fasilitas ini hanya kepada nasabah yang benar-benar dikenal oleh Perusahaan Efek tersebut. Tapi ada suatu kemungkinan dimana saat nasabah harus menyetor uang untuk menutup margin, dan karena waktu yang sangat mendesak untuk kliring, maka Perusahaan Efek tersebut akan menerima uang kas. Adapun uang kas tersebut dapat berasal dari Pelaku money laundering, orang yang tidak dikenal oleh sales Perusahaan Efek tersebut, melalui nasabah yang dikenal oleh sales tersebut. Dalam kondisi seperti ini Perusahaan Efek tidak mempunyai cukup waktu untuk menelusuri asal-usul dana tersebut.

                                              • Masuknya uang tunai melalui mekanisme right issue.

                                              Right Issue atau yang lebih dikenal dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu, merupakan tindakan Emiten untuk menambah modal. Dalam suatu right issue ada kalanya Emiten menggunakan pembeli siaga, yang biasanya telah menjadi pemegang saham emiten tersebut. Pembeli siaga dapat terdiri dari beberapa pihak yang secara bersama-sama bersedia untuk membeli sisa saham yang tidak diambil oleh pemegang saham lainnya. Dalam proses ini Pihak yang akan melakukan placement harus bekerja sama dengan Emiten, dimana Emiten tersebut bersedia menerima uang cash dari pembeli siaga. Selanjutnya uang cash dari tindak pidana kejahatan tersebut akan dibelikan saham yang tidak diambil oleh pemegang saham Emiten tersebut. Praktek seperti ini tentunya akan dibantu oleh Auditor yang mengaudit hasil penjatahan dalam right issue.

                                              • Pembelian Saham melalui Transaksi Luar Bursa.

                                              Pembelian saham dapat dilakukan melalui kesepakatan kedua belah pihak. Apabila transaki di luar bursa, maka penjual dapat menerima uang dari Pelaku berupa uang tunai, yang selanjutnya Penjual dapat menstransfer saham tersebut kepada pelaku yang sebelumnya telah membuka rekening efek di Perusahaan efek Lain

                                              b)      Proses layering melalui Pasar Modal.

                                              Pada tahap ini, pada intinya adalah usaha untuk mengaburkan asal-usul dana kejahatan tersebut dengan menggunakan beberapa transaksi, atau mencampur dengan dana yang bersal dari bisnis yang legal. Pasar Modal lebih mudah digunakan dalam proses ini, karena biasanya uang hasil tindak pidana kejahatan sudah masuk ke sistim keuangan, sehingga Pasar Modal digunakan untuk mengaburkan asal-usul uang tersebut. Kasus yang sederhana adalah indikasi Pasar Modal digunakan oleh para pembobol Bank BNI. Dalam kasus tersebut pembobol Bank BNI diindikasikan menggunakan uang hasil tindak pidana tersebut untuk membeli berbagaisaham. Dan yang perlu dicatat dana pembelian tersebut sudah masuk sistim perbankan. Selain itu, pada proses ini, para Pelaku pencucian uang dapat menikmati keuntungan tambahan dari perdagangan saham yang dia lakukan. Hal tersebut dapat pula dilakukan dengan aksi manipulasi pasar untuk menambah keuntungan melalui Pasar Modal. Pada umumnya pelaku sudah memiliki saham dalam jumlah yang signifikan, selanjutnya Pelaku bekerja sama dengan beberapa pihak mulai meniupkan rumor yang berupa misleading information sehingga harga saham dapat mengalami kenaikkan. Pelaku biasanya menambah kepemilikannya sehingga harga dapat merangkak naik lebih cepat. Setelah harga mencapai puncaknya, Pelaku mulai melepas kepemilikannya sehingga harga mulai turun, dan dia menangguk keuantungan dari proses layering tersebut. Dalam proses ini biasanya diikuti dengan tindak pidana yang lain terutama tindak pidana Pasar Modal. Pelaku tindak pidana pencucian uang, dalam proses layering, juga bisa melakukan pencucian uang melalui mekanisme, antara lain:

                                              • Menggunakan mekanisme Debt to equity swap

                                              Semenjak krisis moneter, banyak perusahaan public yang mengalami kesulitan keuangan sehingga tidak dapat memenuhi kewajibannya termasuk hutang Bank. Setelah BPPN mengambil alih hutang-hutang tersebut, karena dibatasi waktu dan dikejar target setoran APBN, BPPN telah melelang kredit macet tersebut ke berbagai Pihak. Selanjutnya pemilik hak tagih baru tersebut memperjual belikan hak tagih tersebut yang bisa jadi jatuh kepada pelaku tindak pidana. Selanjutnya pelaku menawarkan kepada Emiten tersebut untuk melakukan Debt to Equity Swap dengan rasio yang sangat menarik. Alhasil, pelaku tindak pidana sudah dapat memiliki saham perusahaan tercatat, tanpa dapat diindikasikan asal usul uang tersebut.

                                              • Menggunakan SPV dalam pembelian saham.

                                              Dengan menggunakan SPV yang berdomisili di negara-negara antah berantah yang sulit ditelusuri beneficial ownersnya, pelaku tindak pidana mulai mengumpulkan saham-saham yang blue chip dan menikmati hasil deviden dari perusahaan tersebut.

                                              • Akusisi Perusahaan Terbuka

                                              Pelaku tindak pidana pencucian uang, untuk menyamarkan dananya, dapat melakukan akusisi perusahaan terbuka. Dengan adanya akusisi tersebut Pelaku terkena peraturan Penawaran Tender dimana salah satunya adalah klarifikasi dari Bank ataupun Perusahaan Efek bahwa Pelaku mempunyai cukup dana untuk melakukan Penawaran Tender.

                                              Selanjutnya, pihak-pihak tersebut bekerja sama untuk memuluskan proses Penawaran Tender, yang pada ujung-ujungnya menempatkan Pelaku sebagai mayoritas di Perusahaan Terbuka tersebut.

                                              • Manipulasi data Keuangan Perusahaan Terbuka.

                                              Pada tahap awal biasanya pelaku telah menjadi mayoritas di perusahaan tersebut, selanjutnya dana dari tindak kejahatan disamarkan dan dicampurkan oleh pelaku dengan pendapatan yang sah dari Perusahaan tersebut. Hal tersebut akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan pendapatan yang dramatis, yang otomatis bias mengatrol

                                              harga saham Perusahaan tersebut di Bursa. Dalam proses ini biasanya pelaku bekerja sama dengan auditor yang mengaudit Perusahaan tersebut

                                              c)      Proses Integration / Drying melalui Pasar Modal

                                              Pada tahap ini, uang hasil tindak kejahatan sudah siap untuk dinikmati langsung, dan dana tersebut sudah tidak dapat lagi dicium asal-usulnya karena sudah melalui beberapa proses yang sulit diidentifikasikan. Dalam tindak pidana pencucian uang, proses tersebut dapat dilakukan secara terpisah maupun simultan, dan pelaku tidak terlalu memikirkan biaya yang ditimbulkan dari serangkaian tindakan pencucian uang tersebut. Karena pada dasarnya pelaku menginginkan bahwa dana tersebut terkesan berasal dari bisnis yang sah dan legal sehingga dapat dinikmati dengan leluasa. Jadi dalam tahap ini serangkaian tindakan pencucian telah dilakukan, baik melalui Bank, Pembelian Properti, Emas, dll telah dilakukannya. Jadi dana hasil penjulan barang-barang berharga tersebut dia investasikan di Pasar Modal, dan menikmati hasilnya secara leluasa.

                                              2. Lemahnya penegak hukum di Pasar Modal serta peran Polri dalam upaya membantu penegakan hukumnya.

                                              Ketentuan yang mengatur tentang kegiatan Pasar Modal yaitu Undang-undang Nomor 15 Tahun 1952 tentang Penetapan Undang-undang Darurat tentang Bursa (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 79) sebagai Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 1952 Nomor 67) tersebut dirasakan sudah tidak sesuai dengan perkembangan yang ada pada saat ini oleh karena ketentuan yang ada dalam Undang-undang tersebut tidak mengatur hal-hal yang sangat penting dalam kegiatan Pasar Modal, yaitu kewajiban Pihak-Pihak dalam suatu Penawaran Umum untuk memenuhi Prinsip Keterbukaan, serta terutama ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang perlindungan kepada masyarakat umum.

                                              Selain itu, dengan perkembangan yang sangat pesart di bidang ekonomi, ditambah lagi dengan globalisasi ekonomi, maka ketentuan-ketentuan tentang kegiatan Pasar Modal diatur dalam suatu Undang-undang yang baru yaitu UU Nomor 8 Tahun 1995, dengan tetap mengacu pada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

                                              Menurut UU Nomor 8 Tahun 1995 Bapepen mempunyai wewenang dalam hal penyidikan Tindak Pidana yang terjadi di Pasar Modal sesuai yang diatur dalam Pasal 101 yaitu :

                                              (1)  Dalam hal Bapepam berpendapat pelanggaran terhadap Undang-undang ini dan atau peraturan pelaksanaannya mengakibatkan kerugian bagi kepentingan Pasar Modal dan atau membahayakan kepentingan pemodal atau masyarakat, Bapepam menetapkan dimulainya tindakan penyidikan.

                                              (2)  Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Bapepam diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Pasar Modal berdasarkan ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

                                              (4) Dalam rangka pelaksanaan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bapepam mengajukan permohonan izin kepada Menteri untuk memperoleh keterangan dari bank tentang keadaan keuangan tersangka pada bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perbankan.

                                              (5) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

                                              (6) Dalam rangka pelaksanaan kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bapepam dapat meminta bantuan aparat penegak hukum lain.

                                              Tetapi kenyataannya Didalam hal penegakan supremasi hukum di lingkungan Pasar Modal masih sangatlah membingungkan dimana didalam UU Nomor 8 Tahun 1995 telah diatur bahwa yang menjadi penyidik didalam hal terjadi tindak pidana di lingkungan Pasar Modal adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Bapepam. Sementara menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Pasal 1 menyatakan bahwa yang menjadi penyidik adalah Pejabat Polisi Negara RI dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan.

                                              Didalam hal ini sesuai dengan Pasal 101 ayat 6 kedudukan Polri hanyalah sebagai pembantu penyidik Bapepam dalam hal terjadi Tindak Pidana di lingkungan Pasar Modal. Sehingga dalam hal menyidik maupun memproses Tindak Pidana yang terjadi di Pasar Modal sampai saat ini sangatlah minim yang berhasil diproses sampai ke Pengadilan. Kasus pelanggaran di pasar modal Indonesia masih tidak jelas sanksi hukumnya. Contoh yang dapat kita lihat adalah kasus insider trading Indosat yang merugikan negara Rp 400 miliar yang sampai saat ini belum jelas apa sangsi hukum yang dijatuhkan.

                                              Untuk meningkatkan dan mengefektifkan penegakan hukum di lingkungan Bapepam, serta meningkatkan peran Polri dalam upaya membantu Bapepam dalam penegakan hukum maka pada tanggal 19 Pebruari 1998 dilangsungkan penandatanganan Nota Kesepahaman Bersama (MOU) antara Badan Pengawas Pasar Modal Departemen Keuangan dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

                                              Secara garis besar, MOU ini menekankan pada upaya-upaya untuk meningkatkan koordinasi dan kerja sama antara Bapepam dan Polri dalam rangka menjamin terlaksananya penegakan hukum di bidang pasar modal. Selain itu, Bapepam dan Polri bertekad untuk meningkatkan kemampuan aparat penegak hukumnya sehingga pelaksanaan penegakan hukum dapat dilakukan secara professional. Atas dasar itu, materi-materi dalam MOU ditekankan pada hal-hal sebagai berikut :

                                              1. Penyidikan tindak pidana di bidang pasar modal sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dilakukan oleh Penyidik yang telah mengikuti pendidikan penyidikan yang diselenggarakan oleh Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Poiri, dan telah diangkat oleh Menteri Kehakiman serta disumpah oleh ketua Bapepam.
                                              2. Dalam rangka mewujudkan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan, Bapepam dapat meminta bantuan penyidikan kepada Poiri untuk menggeledah, menangkap dan menahan Pihak yang mempunyai indikasi kuat melakukan tindak pidana di bidang Pasar Modal serta memberikan petunjuk dalam kegiatan penyidikan yang dilakukan PPNS Bapepam.
                                              3. Bapepam akan mengikutsertakan pejabat dan pegawainya untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan pada Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri, khususnya mengenai teknis penyidikan tindak pidana di bidang pasar modal, dalam rangka menyiapkan PPNS Bapepam yang tangguh dan professional.
                                              4. Polri akan memasukkan materi pasar modal ke dalam kurikulum pendidikan dan latihan serta mengikutsertakan pula pejabat atau staf dalam kegiatan temu wicara maupun kegiatan ilmiah lainnya tentang pasar modal. Di lain pihak, Bapepam akan menyiapkan tenaga ahli yang berpengalaman untuk meningkatkan pemahaman penyidik Poiri tentang kegiatan di bidang pasar modal.

                                              Diharapkan dengan semangat penandatanganan Nota Kesepahaman Bersama ini, akan tercapai kesatuan visi dan persepsi antara Bapepam dan Polri mengenai perlunya pelaksanaan penegakan hukum yang professional. Ha ini diperlukan guna menjaga kepercayaan masyarakat terhadap pasar modal Indonesia, melalui terciptanya pasar modal yang wajar, teratur dan efisien sesuai dengan amanat Undang-undang Pasar Modal.

                                              IV.   Penutup

                                              1.      Kesimpulan

                                              Pembangunan nasional merupakan pencerminan kehendak untuk terus-menerus meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia secara adil dan merata, serta mengembangkan kehidupan masyarakat dan penyelenggaraan negara yang maju dan demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sedangkan di bidang ekonomi sasaran Pembangunan Jangka Panjang Kedua, antar lain, adalah terciptanya perekonomian yang mandiri dan andal, dengan peningkatan kemakmuran rakyat yang makin merata, pertumbuhan cukup tinggi, dan stabilitas nasional yang mantap. Dalam rangka mencapai sasaran tersebut diperlukan berbagai sarana penunjang, antara lain berupa tatanan hukum yang mendorong, menggerakkan, dan mengendalikan berbagai kegiatan pembangunan di bidang ekonomi.

                                              2.      Saran

                                              Agar Pasar Modal dapat berkembang dibutuhkan adanya landasan hukum yang kukuh untuk lebih menjamin kepastian hukum pihak-pihak yang melakukan kegiatan di Pasar Modal, serta melindungi kepentingan masyarakat pemodal dari praktik yang merugikan. Untuk menunjang tatanan hukum tersebut sangat diperlukan upaya-upaya untuk meningkatkan koordinasi dan kerja sama antara Bapepam dan Polri dalam rangka menjamin terlaksananya penegakan hukum di bidang pasar modal.

                                              Daftar Pustaka

                                               

                                               

                                              1. 1. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
                                              2. 2. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002, tentang Kepolisian
                                              3. 3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal
                                              4. 4. PP Nomor 46 Tahun 1995 Tentang tata cara pemeriksaan di bidang Pasar Modal
                                              5. 5. www.duniaesai.com
                                              6. 6. http://www.bapepam.go.id/layanan/warta/2005_pebruari/money_laundering.pdf.
                                              7. 7. Siaran Pers Penandatanganan nota kesepakatan bersama antara Badan Pengawasan Pasar Modal Departemen Keuangan Republik Indonesia dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Thursday – November 16 , 2006.